Kata
“etika” dalam arti yang sebenarnya berarti “filsafat mengenai bidang moral”.
Jadi, etika merupakan ilmu atau refleksi sistematik mengenai pendapat-pendapat,
norma-norma, dan istilah-istilah moral. Magnis Suseno (1996:6) mempergunakan
istilah etika dalam arti lebih luas, yaitu “keseluruhan norma dan penilaian
yang dipergunakan oleh masyarakat yang bersangkutan untuk mengetahui bagaimana
manusia seharusnya menjalankan kehidupannya”; jadi dimana mereka menemukan
jawaban atas pertanyaan “bagaimana saya harus membawa diri, sikap-sikap dan
tindakan-tindakan mana yang harus saya kembangkan agar hidup saya sebagai
manusia berhasil. Magnis Suseno dengan sengaja tiidak menentukan secara tepat
apa yang dimaksud dengan “berhasil”.
Begitu
luas konsep etika Jawa. Etika meliputi sebuah konstruksi sosial, budaya,
keyakinan, dan pandangan hidup secara total. Bahkan, etika juga terkait dengan
wawasan gender, tua muda, senior junior, atasan bawahan, begiu seterusnya.
Etika membangun dikotomi dalam interaksi sosial semacam ini menjadi kunci pokok
untuk memahami apakah seseorang tahu etika Jawa atau belum. Apakah seseorang
sudah Jawa atau belum.
Orang
Jawa sungguh pandai bermain simbol etika. Setiap mengangguk, belum tentu
hatinya tunduk. Begitu pula ketika dia menggelengkan kepala, belum tentu tidak
setuju.oleh karena itu, akan sangat keliru menarik kesimpulan dari sikap tunduk
orang Jawa. Orang Jawa dalam sikap dan pekerti penuh dengan semu (simbol), yang
perlu dipahami satu sama lain yang tengah berinteraksi. Sikap hormat tidak
merupakan jaminan ketaatan. Orang-orang desa telah belajar bahwa sikap tunduk
pada otoritas ada manfaatnya, tetapi bukan berarti bahwa mereka rela
melaksanakan apa yang dituntut oleh otoritas itu. Orang Jawa mempunyai cara
untuk mengatakan ya.
Masyarakat
Jawa mengatur interaksi-interaksinya melalui dua prinsip keselarasan, yaitu
prinsip kerukunan dan prinsip hormat. Kedua prinsip tersebut menuntut bahwa
segala bentuk interaksi, konflik-konflik terbuka harus dicegah. Prinsip
kerukunan secara prinsipiil melarang pengambilan posisi yang bisa menimbulkan
konflik. Prinsip hormat melarang pengambilan posisi-posisi yang tidak sesuai
dengan sikap-sikap hormat yang dituntut. Prinsip-prinsip keselarasan dengan
demikian memuat larangan mutlak terhadap usaha untuk bertindak hanya atas dasar
kesadaran dan kehendak seseorang sendiri saja.
Apabila
seseorang kurang menaruh hormat atau tidak rukun kepada sesama, biasanya serinf
mendapat hukuman. Hukuman dalam etika Jawa dapat berupa tindakan, sikap, dan
juga kata-kata lisan, misalnya dikucilkan, dicerca, dan bahkan bisa diusir dari
tempat tinggalnya. Hukuman etika ini sering disebut “disebratake” atau
“disongkrah”, artinya dikeluarkan dari golongan atau kelompok orang-orang etis
atau beretika.
Jadi
kesimpulannya, orang-orang Jawa sangat menghormati kerukunan terhadap sesama.
Segala sesuatu yang dikerjakan atau dilaksanakan selalu menggunakan etika.
Dalam berinteraksi, masyarakat Jawa menggunakan dua prinsip keselerasan, dimana
kedua prinsip itu melarang segala sikap
yang disebabkan oleh emosi, nafsu, tetapi juga oleh kepentingan sendiri
yang diperhitungkan dengan kepala dingin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar