Agama mengajarkan kebenaran. Kebenaran dalam filsafat dan ilmu
adalah "kebenaran akal", sedangkan kebenaran menurut agama adalah
"kebenaran wahyu". Kita tidak akan berusaha mencari mana yang benar
atau lebih benar di antara ketiganya, akan tetapi kita akan melihat apakah
ketiganya dapat hidup berdampingan secara damai. Meskipun filsafat dan ilmu
mencari kebenaran dengan akal, hasil yang diperoleh baik oleh filsafat maupun
ilmu juga bermacam-macam. Hal ini dapat dilihat pada aliran yang berbeda-beda,
baik di dalam filsafat maupun di dalam ilmu. Demikian pula terdapat bermacam-macam
agama yang masing-masing mengajarkan kebenaran. Bagaimana mencari hubungan
antara ilmu, filsafat dan agama akan diperlihatkan sebagai berikut:
Perhatikan ilustrasi ini. Jika seseorang melihat sesuatu kemudian
mengatakan tentang sesuatu tersebut, dikatakan ia telah mempunyai pengetahuan
mengenai sesuatu. Pengetahuan adalah sesuatu yang tergambar di dalam pikiran
kita. Misalnya, ia melihat manusia, kemudian mengatakan itu adalah manusia. Ini
berarti ia telah mempunyai pengetahuan tentang manusia. Jika ia meneruskan
bertanya lebih lanjut mengenai pengetahuan tentang manusia, misalnya: dari mana
asalnya, bagaimana susunannya, ke mana tujuannya, dan sebagainya, akan
diperoleh jawaban yang lebih terperinci mengenai manusia tersebut. Jika titik
beratnya ditekankan kepada susunan tubuh manusia, jawabannya akan berupa ilmu
tentang manusia dilihat dari susunan tubuhnya atau antropologi fisik. Jika
ditekankan pada hasil karya manusia atau kebudayaannnya, jawabannya akan berupa
ilmu manusia dilihat dari kebudayaannya atau antropologi budaya. Jika
ditekankan pada hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya,
jawabannya akan berupa ilmu manusia dilihat dari hubungan sosialnya atau
antropologi sosial.
Dari contoh di atas nampak
bahwa pengetahuan yang telah disusun atau disistematisasi lebih lanjut dan
telah dibuktikan serta diakui kebenarannya adalah ilmu. Dalam hal di atas, ilmu
tentang manusia. Selanjutnya, jika seseorang masih bertanya terus mengenai apa
manusia itu atau apa hakikat manusia itu, maka jawabannya akan berupa suatu
"filsafat". Dalam hal ini yang dikemukakan bukan lagi susunan
tubuhnya, kebudayaannya dan hubungannya dengan sesama manusia, akan tetapi
hakikat manusia yang ada di balik tubuh, kebudayaan dan hubungan tadi. Alm. Anton Bakker, dosen Fakultas Filsafat
Universitas Gajah Mada menggunakan istilah "antropologi metafisik"
untuk memberi nama kepada macam filsafat ini. Jawaban yang dikemukan bermacam-macam antara lain:
Monisme, yang berpendapat manusia terdiri dari satu asas. Jenis asas
ini juga bermacam-macam, misalnya jiwa, materi, atom, dan sebagainya. Hal ini
menimbulkan aliran spiritualisme, materialisme, atomisme.
Dualisme, yang mengajarkan bahwa manusia
terdiri atas dua asas yang masing-masing tidak berhubungan satu sama lain, misalnya
jiwa-raga. Antara jiwa dan raga tidak terdapat hubungan.
Triadisme, yang mengajarkan bahwa manusia
terdiri atas tiga asas, misalnya badan, jiwa dan roh.
Pluralisme, yang mengajarkan bahwa manusia
terdiri dari banyak asas, misalnya api, udara, air dan tanah.
Demikianlah disebutkan beberapa contoh mengenai bentuk jawaban yang
berupa filsafat. Dari contoh tersebut, filsafat adalah pendalaman lebih lanjut
dari ilmu (Hasil pengkajian filsafat selanjutnya menjadi dasar bagi eksistensi
ilmu). Di sinilah batas kemampuan akal manusia. Dengan akalnya ia tidak akan
dapat menjawab pertanyaan yang lebih dalam lagi mengenai manusia. Dengan
akalnya, manusia hanya mampu memberi jawaban dalam batas-batas tertentu. Hal
ini sesuai dengan pendapat Immanuel Kant dalam Kritiknya terhadap rasio yang
murni, yaitu manusia hanya dapat mengenal fenomena belaka, sedang bagaimana
nomena-nya ia tidak tahu. Sehubungan dengan hal tersebut, maka yang dapat
menjawab pertanyaan lebih lanjut mengenai manusia adalah agama; misalnya, tentang
pengalaman apa yang akan dijalani setelah seseorang meninggal dunia. Jadi,
sesungguhnya filsafat tidak hendak menyaingi agama. Filsafat tidak hendak
menambahkan suatu kepercayaan baru.
Selanjutnya, filsafat dan ilmu juga dapat mempunyai hubungan yang baik
dengan agama. Filsafat dan ilmu dapat membantu menyampaikan lebih lanjut ajaran
agama kepada manusia. Filsafat membantu agama dalam mengartikan
(menginterpretasikan) teks-teks sucinya. Filsafat membantu dalam memastikan
arti objektif tulisan wahyu. Filsafat menyediakan metode-metode pemikiran untuk
teologi. Filsafat membantu agama dalam menghadapi masalah-masalah baru.
Misalnya, mengusahakan mendapat anak dengan in vitro fertilization ("bayi
tabung") dapat dibenarkan bagi orang Kristen atau tidak? Padahal Kitab
Suci diam seribu bahasa tentang bayi tabung. Filsafatlah, dalam hal ini etika, yang dapat merumuskan
permasalahan etis sedemikian rupa sehingga agama dapat menjawabnya berdasarkan
prinsip-prinsip moralitasnya sendiri. Sebaliknya, agama dapat membantu memberi
jawaban terhadap problem yang tidak dapat dijangkau dan dijawab oleh ilmu dan
filsafat. Meskipun demikian, tidak juga berarti bahwa agama adalah di luar
rasio, agama adalah tidak rasional. Agama bahkan mendorong agar manusia memiliki sikap hidup yang
rasional: bagaimana manusia menjadi manusia yang dinamis, yang senantiasa
bergerak, yang tak cepat puas dengan perolehan yang sudah ada di tangannya,
untuk lebih mengerti kebenaran, untuk lebih mencintai kebaikan, dan lebih
berusaha agar cinta Allah kepadanya dapat menjadi dasar cintanya kepada sesama
sehingga bersama-sama manusia yang lain mampu membangun dunia ini.
Selanjutnya filsafat memiliki peran dalam agama. Pertama. Salah
satu masalah yang dihadapi oleh setiap agama wahyu adalah masalah interpretasi.
Maksudnya, teks wahyu yang merupakan Sabda Allah selalu dan dengan sendirinya
terumus dalam bahasa dari dunia. Akan tetapi segenap makna dan arti bahasa
manusia tidak pernah seratus persen pasti. Itulah sebabnya kita begitu sering
mengalami apa yang disebut salah paham. Hal itu juga berlaku bagi bahasa wahana
wahyu. Hampir pada setiap kalimat ada kemungkinan salah tafsir. Oleh karena itu
para penganut agama yang sama pun sering masih cukup berbeda dalam pahamnya
tentang isi dan arti wahyu. Dengan kata lain, kita tidak pernah seratus persen
merasa pasti bahwa pengertian kita tentang maksud Allah yang terungkap dalam
teks wahyu memang tepat, memang itulah maksud Allah. Oleh sebab itu, setiap
agama wahyu mempunyai cara untuk menangani masalah itu. Agama Islam, misalnya,
mengenai ijma' dan qias. Nah, dalam usaha manusia seperti itu, untuk memahami
wahyu Allah secara tepat, untuk mencapai kata sepakat tentang arti salah satu
bagian wahyu, filsafat dapat saja membantu. Karena jelas bahwa jawaban atas pertanyaan
itu harus diberikan dengan memakai nalar (pertanyaan tentang arti wahyu tidak
dapat dipecahkan dengan mencari jawabannya dalam wahyu saja, karena dengan
demikian pertanyaan yang sama akan muncul kembali, dan seterusnya). Karena
filsafat adalah seni pemakaian nalar secara tepat dan bertanggungjawab,
filsafat dapat membantu agama dalam memastikan arti wahyunya. Kedua, secara spesifik, filsafat selalu dan
sudah memberikan pelayanan itu kepada ilmu yang mencoba mensistematisasikan,
membetulkan dan memastikan ajaran agama yang berdasarkan wahyu, yaitu ilmu
teologi. Maka secara tradisional-dengan sangat tidak disenangi oleh para
filosof-filsafat disebut ancilla theologiae (abdi teologi). Teologi dengan
sendirinya memerlukan paham-paham dan metode-metode tertentu, dan paham-paham
serta metode-metode itu dengan sendirinya diambil dari filsafat. Misalnya,
masalah penentuan Allah dan kebebasan manusia (masalah kehendak bebas) hanya
dapat dibahas dengan memakai cara berpikir filsafat. Hal yang sama juga berlaku
dalam masalah "theodicea", pertanyaan tentang bagaimana Allah yang
sekaligus Mahabaik dan Mahakuasa, dapat membiarkan penderitaan dan dosa
berlangsung (padahal ia tentu dapat mencegahnya). Begitu pula Christologi
(teologi kristiani tentang Yesus Kristus) mempergunakan paham-paham filsafat
Yunani dalam usahanya mempersatukan kepercayaan pada hakekat nahi Yesus Kristus
dengan kepercayaan bahwa Allah hanyalah satu. Ketiga, filsafat dapat membantu
agama dalam menghadapi masalah-masalah baru, artinya masalah-masalah yang pada
waktu wahyu diturunkan belum ada dan tidak dibicarakan secara langsung dalam
wahyu. Itu terutama relevan dalam bidang moralitas. Misalnya masalah bayi
tabung atau pencangkokan ginjal. Bagaimana orang mengambil sikap terhadap dua
kemungkinan itu : Boleh atau tidak? Bagaimana dalam hal ini ia mendasarkan diri
pada agamanya, padahal dalam Kitab Suci agamanya, dua masalah itu tak pernah
dibahas? Jawabannya hanya dapat ditemukan dengan cara menerapkan
prinsip-prinsip etika yang termuat dalam konteks lain dalam Kitab Suci pada
masalah baru itu. Nah, dalam proses itu diperlukan pertimbangan filsafat moral.
Filsafat juga dapat membantu merumuskan pertanyaan-pertanyaan
kritis yang menggugah agama, dengan mengacu pada hasil ilmu pengetahuan dan
ideologi-ideologi masa kita, misalnya pada ajaran evolusi atau pada feminisme. Keempat, yang dapat diberikan oleh filsafat
kepada agama diberikan melalui fungsi kritisnya. Salah satu tugas filsafat
adalah kritik ideologi. Maksudnya adalah sebagai berikut. Masyarakat terutama
masyarakat pasca tradisional, berada di bawah semburan segala macam pandangan,
kepercayaan, agama, aliran, ideologi, dan keyakinan. Semua pandangan itu
memiliki satu kesamaan: Mereka mengatakan kepada masyarakat bagaimana ia harus
hidup, bersikap dan bertindak. Filsafat menganalisa claim-claim ideologi itu
secara kritis, mempertanyakan dasarnya, memperlihatkan implikasinya, membuka
kedok kepentingan yang barangkali ada di belakangnya.
Kritik ideologi itu dibutuhkan agama dalam dua arah. Pertama terhadap pandangan-pandangan saingan,
terutama pandangan-pandangan yang mau merusak sikap jujur, takwa dan
bertanggungjawab. Fisafat
tidak sekedar mengutuk apa yang tidak sesuai dengan pandangan kita sendiri,
melainkan mempergunakan argumentasi rasional. Agama sebaiknya menghadapi
ideologi-ideologi saingan tidak secara dogmatis belaka, jadi hanya karena
berpendapat lain, melainkan berdasarkan argumentasi yang obyektif dan juga
dapat dimengerti orang luar. Arah kedua menyangkut agamanya sendiri. Filsafat
dapat mempertanyakan, apakah sesuatu yang oleh penganut agama dikatakan sebagai
termuat dalam wahyu Allah, memang termasuk wahyu itu. Jadi, filsafat dapat
menjadi alat untuk membebaskan ajaran agama dari unsur-unsur ideologis yang
menuntut sesuatu yang sebenarnya tidak termuat dalam wahyu, melainkan hanya
berdasarkan sebuah interpretasi subyektif. Maka filsafat membantu pembaharuan
agama. Berhadapan dengan tantangan-tantangan zaman, agama tidak sekedar menyesuaikan
dirinya, melainkan menggali jawabannya dengan berpaling kembali kepada apa yang
sebenarnya diwahyukan oleh Allah. Dengan cara menyadari keadaan serta kedudukan
masing-masing, maka antara ilmu dan filsafat serta agama dapat terjalin
hubungan yang harmonis dan saling mendukung. Karena, semakin jelas pula bahwa
seringkali pertanyaan, fakta atau realita yang dihadapi seseorang adalah hal
yang sama, namun dapat dijawab secara berbeda sesuai dengan proporsi yang
dimiliki masing-masing bidang kajian, baik itu ilmu, filsafat maupun agama.
Ketiganya dapat saling menunjang dalam menyelesaikan persoalan yang timbul
dalam kehidupan.
Sesungguhnya kaum Ionian telah membuat pemisahan antara filsafat
dan ilmu. Namun dalam kenyataannya, sekarang filsafat memiliki
arti yang sangat terbatas. Hal ini terjadi karena filsafat telah menjadi korban
kesuksesannya sendiri. Bermula
dari penyelidikan tentang cara kerja alam semesta, cabang penyelidikan tersebut
segera memberikan hasil yang positif, tetapi kemudian bidang tersebut dialihkan
dari filsafat lalu dinamakan sebagai ilmu. Dengan demikian ilmu merupakan anak
dari filsafat. Begitu pula agama, mutlak harus ada dan diseimbangkan dengan ilmu. Karena di dalam
kemajuan ilmu, seseorang
berkiblat kepada moral, dan moral yang di tata secara hakiki adalah agama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar