Ketiga
istilah ini merupakan perpadauan pemikiran orang Jawa yang sistematis. Istilah
budi luhur, budi pekerti, dan etika adalah tiga hal yang saling terkait. Dalam
endiklopedia kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (2006:12) dinyatakan budi
luhur berasal dari kata budi artinya upaya, tabiat atau kelengkapan kesadaran
manusia. Luhur berarti tinggi atau mulia. Jadi budi luhur dapat diartikan
sebagai hasil kesadaran penghayatan yang menuju pada kemuliaan hati.
Budi
luhur dikalangan penghayat, dapat dipandang sebagai mainstream ajaran kejawen. Budi luhur tidak lain merupakan sebuah ideologi
kejawen, sebagai falsafah hidup penghayat dalam berperilaku. Aktualisasi budi
luhur dalam perilau diwujudkan melalui budi pekerti. Budi pekerti berasal dari
kata budi yang artinya kesadaran mulia dan pekerti artinya norma kehidupan.
Adapun budi pekerti adalah etos pekerti yang membentuk etika kehidupan.
Etika
adalah keseluruhan norma dan penilaian yang dipergunakan oleh masyarakat yang
bersangkutan untuk mengetahui bagaimana manusia seharusnya menjalankan kehidupannya
(Magnis Suseno, 1984:6). Pengertian ini memuat pandangan bahwa etika merupakan
rambu-rambu normatif untuk menilai apakah pekerti seseorang dianggap
mencerminkan budi luhur atau tidak. penyimpangan terhadap etika juga merupakan
pengingkaran terhadap nilai budi luhur.
Untuk
memahami aktualisasi etika Jawa dalam ajaran budi luhur kedalam pekerti
penghayat masa kini, digunakan konsep Geertz (1973: 129-130) bahwa budi luhur
dapat diposisikan berada pada tataran ought
(yang seharusnya) dan budi pekerti pada tataran is (yang nyata ada). Dalam kehidupan orang Jawa, antara budi luhur
sebagai world view, budi pekeri
sebagai ethos, dan etika sebagai
norma hidup, seharusnya harmoni sampai tataran cocok.
Dalam
memahami makna pekerti rligius yang bersifat simbolik dan bersifat “terbuka”,
yang berakibat pada Max Weber memperkenalkan metode verstehen (dalam bahasa
Jerman yang artinya “memahami” ide, sikap, perilaku, manusia yang bersifat
simbolik). Konteks ini akan menghasilkan kebudayaan. Inti dari pandangan
tentang verstehen demikian berarti bahwa pemaknaan bukan pada peristiwa
pembicaraan semata, melainkan sampai “yang dikatakan” dari pembicaraan. Isi
pembicaraan jauh lebih penting, meskipun tidak harus meninggalkan peristiwanya.
Pemaknaan secara hermeneutik seyogyanya mempu mengungkapkan sesuatu yang
tersembunyi dibalik sesuatu. Sesuatu tersebut dapat terkait dengan perilaku.
Melalui perilaku bentuk-bentuk kebudayaan akan terartikulasi.
Dengan
pintalan komunikasi simbolik, orang Jawa membangun makna. Setiap gerak dan
langkah selalu mencerminkan dirinya, bahwa tindakan yang dilandasi oleh budi
pekerti dan etika, akan melandasi budi luhur orang Jawa. Budi luhur merupakan
pedoman tertinggi, yang mengarahkan orang Jawa agar mampu bertindak secara arif
atau bijak. Dari kedalaman perilaku, orang Jawa selalu membawa dirinya agar
hubungan sosial senantiasa bagus, tidak renggang dan tetap menentramkan. Kunci
pokok dari tindakan sosial yang sukses, tidak lain merupakan upaya
mempertahankan budi pekerti dan etika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar