Selasa, 01 November 2016

KEBEBASAN DAN DETERMINISME



Di dalam pandangan klasik, kebebasan dipertentangkan dengan konsep determinisme (determinism), yakni paham yang berpendapat, bahwa semua pikiran, tindakan, dan perilaku manusia sudah ditentukan sebelumnya, baik secara sosial ataupun biologis. Artinya jika orang ditentukan oleh lingkungan sosialnya, atau oleh kondisi tubuhnya, maka ia tidaklah bebas. Inilah argumen yang coba dipertahankan oleh para ilmuwan psikologi dan neurosains.

Namun pada hemat saya, argumen ini salah arah. Fakta bahwa kita dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial dan biologis tidak berarti bahwa kita tidaklah bebas. Sebaliknya kebebasan -jika dipahami sebagai kemampuan manusia untuk mempertimbangkan secara rasional pilihan-pilihan hidupnya, memutuskan berdasarkan pertimbangan itu, serta mengontrol dirinya dari hasrat-hasrat yang bertentangan dengan keputusan maupun tujuannya- justru berada di dalam konteks lingkungan sosial maupun biologis manusia. Jadi kebebasan dan determinisme sebenarnya tidaklah perlu dipertentangkan.

Menjamin Libet dan John-Dylan Haynes melakukan penelitian dengan menggunakan fMRI untuk menemukan pola saraf di otak, ketika orang melakukan keputusan. Mereka menemukan bahwa sebelum orang membuat keputusan, atau sebelum ia sadar bahwa telah memutuskan, ada gelombang-gelombang otak yang tampak. Dapatkah disimpulkan bahwa keputusan itu muncul bukan dari kehendak bebas manusia, melainkan dari reaksi-reaksi gelombang otak yang tampak dengan jelas di dalam fMRI? Lalu siapa yang sesungguhnya menjadi “tuan” atas keputusan-keputusan yang telah dibuat oleh manusia?

Menurut saya dari penelitian itu, kita tetap tak dapat sampai pada kesimpulan, bahwa kebebasan manusia adalah ilusi. Bahkan kita juga belum bisa memutuskan secara pasti, apakah gelombang otak tersebut yang melahirkan keputusan, atau sebaliknya, yakni keputusan manusia yang mengaktifkan gelombang otak tersebut?  Dan seperti sudah saya jelaskan sebelumnya, kebebasan manusia terkait erat dengan kemampuan manusia untuk berpikir, dan tindak berpikir selalu melibatkan otak. Maka penelitian di atas tidak melenyapkan kebebasan, tetapi justru menegaskan, bahwa kebebasan manusia itu ada, dan itu melibatkan unsur-unsur sosial maupun biologis manusia.

Juga perlu diingat bahwa pikiran (mind) manusia itu terbagi dua, antara pikiran sadar dan pikiran yang relatif mekanis. Pikiran sadar digunakan ketika orang diminta untuk membuat keputusan tentang hal-hal yang amat penting dalam hidupnya. Sementara pikiran relatif mekanis digunakan untuk melakukan hal-hal rutin di dalam kehidupan sehari-harinya. Di dalam dua bentuk pikiran ini, aktivitas otak jelas berbeda.

Pada pikiran sadar aktivitas gelombang otak akan sangat besar. Sementara pada pikiran yang relatif mekanis, aktivitas gelombang otak akan tampak lebih kecil. Namun harus diingatkan bahwa keduanya merupakan aktivitas berpikir, baik berpikir mendalam ataupun rutin, dan itu dengan jelas menunjukkan kebebasan kita sebagai manusia. Kebebasan yang tidak melayang secara metafisik, melainkan tertanam begitu erat di dalam konteks biologis manusia.

Kebebasan adalah kemampuan manusia untuk mempertimbangkan, memilih dari berbagai pilihan yang ada, dan mengontrol dirinya sendiri. Dan pilihan itu hanya mungkin di dalam lingkungan sosial, dan juga karena manusia selalu sudah berada di dalam lingkungan sosialnya. Tidak mungkin kita bisa membayangkan manusia yang hidup tanpa konteks sosial. Artinya kebebasan tidak bertentangan dengan fakta, bahwa kita ditentukan secara sosial oleh komunitas tempat kita hidup. Namun justru sebaliknya bahwa komunitas sosiallah yang memungkinkan kita mendapatkan dan menggunakan kebebasan kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar