Minggu, 20 November 2016

Banten Girang Tahap II (Babad Banten)



          Pada awalnya anak cucu dari keturunan Kerajaan Pajajaran dan Kerajaan Galuh Pakuan yang bernama Prabu Jaya Dewata yang di sebut Prabu Pucuk Umum, serta Ajarjong dan Ajarju yang disebut Masjong dan Agusju.
            Prabu Jaya Dewata mendirikan Kerajaan Sunda Banten di Banten Girang bekas kerajaan sunda yang bernama Kerajaan Wahanten pada masa lalu, yang ditinggalkan oleh rajanya yang bernama Prabu Jaya Bupati pada tahun 1030 M. Prabu Jaya Dewata menjadi penguasa di Kerajaan Sunda Banten pada tahun 1480 M. Kerajaan Sunda Banten semakin ramai dikunjungi para pedagang lokal maupun para saudagar dari negeri China. Namun dalam waktu yang cukup lama debit air sungai Cibanten mengalami penurunan sehingga menyebabkan kandasnya perahu layar yang membawa barang dagangan para saudagar China
Dengan selang waktu beberapa tahun lamanya, Prabu Jaya Dewata segera memerintahkan kepada para penggawa dan rakyatnya yang didampingi oleh dua orang pemuda gagah dan berani yang bernama Ajarjong dan Ajarju untuk membangun pelabuhan perahu layar di daerah Kelapa Dua terusan dari sungai Cibanten tepatnya sebelah utara dari pusat Kota Serang.
Pelabuhan pada masa itu dinamakan Pelabuhan Teluk Banten yang dilengkapi sarana jalan tanah (darat), yang melalui daerah Kelapa Dua, Lontar, Koloran Penah, Kaujon Kidul, Kalunjukan dan berakhir di Banten Girang. Jalur tersebut merupakan sarana transportasi pembawa barang dagangan untuk dipasarkan di kota Banten Girang. Dengan selesainya pembangunan Pelabuhan Teluk Banten, maka kemajuan perekonomian Kerajaan Sunda Banten semakin pesat, sehingga pada tahun berikutnya Banten Girang berhasil diperluas dan dikembangkan. Pada bagian sebelah timur berhasil membangun bangunan yang dinamakan “Guha” digunakan untuk tempat tahanan orang-orang yang melanggar peraturan hukum di Kerajaan Sunda Banten, serta pada saat itu juga disebelah selatan berhasil memperluas banguan Keraton Banten. Dan di bagian sebelah barat Keraton berhasil membangun kolam penampungan air untuk keperluan orang-orang di Keraton, situs ini yang dinamakan Kolam Sipadaringan. Serta pembangunan pada parit-parit Benteng Kerajaan Sunda Banten yang dilengkapi menara pengintai untuk menjaga keamanan Keraton Banten Girang, dengan demikian pembangunan Kerajaan Sunda Banten pada saat itu kemajuannya semakin pesat.
Selang beberapa tahun, Ajarjong sebagai patih Kerajaan Sunda Banten mengusulkan kepada Rajanya untuk bisa mengangkat kedudukan adiknya yang bernama Ajarju. Permohonan dari Ajarjong pada saat itu mendapat hambatan dari pihak keluarga Raja, sehingga timbul penolakan secara diam-diam. Dalam penilaian Ajarjong, Prabu Jaya Dewata berbuat tidak adil kepada Ajarju, karena dalam memberikan kekuasaan untuk mengatur pemerintahan Kerajaan Sunda Banten hanya dari pihak keluarga Raja.
Dengan demikian Ajarjong merasa gelisah dan sakit hati yang mendalam kepada Prabu Jaya Dewata. Pada saat itulah Ajarjong meninggalkan Kerajaan Sunda Banten dan juga meninggalkan adiknya. Ajarjong pergi menuju arah timur dan akhirnya sampai di Keraton Demak serta mengabdi kepada Raja Demak yang bernama Sultan Terenggono. Pada saat itu Kerajaan Demak telah mengadakan pesta pernikahan adik perempuan Sultan Terenggono dengan Paletehan (Fatahilah) yang memiliki keahlian baik dalam bidang agama Islam maupun dalam ilmu bela diri, sehingga Sultan Terenggono merasa tertarik kemudian Fatahilah dinikahkan dengan adiknya.
Beberapa waktu kemudian, Ajarjong dengan Fatahilah yang sama-sama dari negeri jauh (Ajarjong berasal dari Kerajaan Sunda Banten dan Fatahilah berasal dari Pasai) semakin akrab dan Ajarjong mendalami ilmu agama Islam dengan dituntun oleh Fatahilah.
Pada suatu saat, Sultan Terenggono memerintahkan kepada Fatahilah untuk menyerang dan meng-Islam-kan Banten Girang. Selang waktu yang tidak lama, berangkatlah Fatahilah dengan Ajarjong sebagai penunjuk jalan serta paham kelemahan Keraton Sunda Banten (Banten Girang) dan dilengkapi dengan pasukan perang Kerajaan Demak. Di Kerajaan Sunda Banten tampak tanda-tanda kemunduran setelah ditinggalkan oleh seorang patih yang dapat dipercaya dan berperan penting dalam mendirikan Kerajaan Sunda Banten. Hal tersebut disebabkan karena para pembantu dari pihak keluarga Raja yang kurang mampu melaksanakan tugasnya yang ditempatkan dalam peranan penting di dalam pemerintahan.
Kemunduran Kerajaaan Sunda Banten juga disebabkan oleh faktor alam, yaitu air laut yang semakin turun sehingga pelabuhan Teluk Banten yang berlokasi di sekitar terusan Sungai Cibanten pada akhirnya tidak bisa disandari perahu-perahu layar pembawa barang dagangan  yang datang dari negeri China untuk dipasarkan di kota Kerajaan Sunda Banten (Banten Girang).
Kemerosotan perekonomian yang terjadi di Kerajaan Sunda Banten telah dirasakan oleh Prabu Jaya Dewata, dengan kepercayaan agama Hindu yang dianutnya pada saat itu Prabu sering meninggalkan singgasana Kerajaan untuk bertapa ke Gunung Kaesala (Gunung Pulosari) Pandeglang dengan tujuan agar mendapat wangsit atau petunjuk dari Tuhannya. Dengan harapan Kerajaan Sunda Banten pulih kembali.
Sesampainya pasukan Fatahilah yang di pelopori oleh Ajarjong di depan pintu gerbang Kerajaan Sunda Banten, maka terlihat oleh Ajarju bahwa yang membawa pasukan perang adalah saudaranya. Kemudian Ajarjong menerangkan maksud kedatangannya, dengan cepat Ajarju mempersilahkan untuk segera memasuki Istana Kerajaan Sunda Banten. Pada akhirnya pasukan perang Islam Demak berhasil menduduki Keraton Kerajaan Sunda Banten yang dipimpin oleh Fatahilah dengan Ajarjong serta dengan waktu yang sangat singkat, penyebaran Agama Islam dilakukan kepada rakyat Sunda Banten.
Prabu Jaya Dewata yang sedang berada di petapaan Gunung Kaesala ketika mendengar laporan dari rakyatnya dengan diceritakan mengenai keadaan di Keraton  Banten Girang yang sudah dikuasai pasukan Islam Demak yang dipimpin  oleh Fatahilah dengan Ajarjong, maka dengan geramnya Prabu Jaya Dewata mengancam akan membunuhnya. Dengan segera Prabu Jaya Dewata turun dari petapaan Gunung Kaesala (Gunung Pulosari) dengan beberapa puluh orang pengikutnya menuju Keraton Sunda Banten. Ketika di dalam perjalanan sampai di suatu tempat yang dinamakan daerah Maudeg tepatnya antara perbatasan kabupaten Serang dengan Pandeglang, pada saat itu Prabu Jaya Dewata memerintahkan untuk berhenti dan menugaskan kepada dua orang untuk memata-matai situasi di Keraton Banten yang telah di duduki pasukan Islam.
Dengan sekembalinya dua orang utusan Prabu Jaya Dewata, maka diceritakannya bahwa dari setiap penjuru Keraton sudah dipenuhi pasukan perang berjaga-jaga untuk menghadang musuh yang datang. Sehingga pada saat itu Prabu Jaya Dewata memutuskan untuk bertahan sementara waktu dengan menyusun penyerangan. Dalam waktu yang sangat singkat masyarakat yang ada disekitar Kerajaan Sunda Banten berhasil dibujuk menjadi muslim oleh Ajarjong dan Fatahilah.
Dengan sibuknya pengenalan agama Islam maka tertangkap pembicaraan dari masyarakat oleh Ajarjong, yang bernada dalam bahasa sunda Moalmahi Ka Ratu Aing mah Ken Engkegeh. Dengan hasil penyelidikan Ajarjong bahwa Prabu Jaya Dewata yang ada di daerah Maudeg sedang menyusun Pasukan untuk menyerang Keraton Sunda. Dengan segera di laporkan kepada Fatahilah. Setelah mendengar berita ancaman dari Prabu Jaya Dewata, maka Fatahilah segera memerintahkan penyerangan terlebih dulu ke daerah Maudeg. Ketika pasukan perang Fatahilah berada di perjalanan, para pengintai  mengetahui hal tersebut dan melaporkannya kepada Prabu Jaya Dewata. Karena merasa terancam, Prabu Jaya Dewata segera berkemas dan meninggalkan daerah Maudeg, dengan diikuti oleh 40 orang pengikut setianya menuju daerah pedalaman pegunungan selatan, sehingga menempat di daerah Cikertawana Kabupaten Lebak Rangkasbitung, pada saat ini yang dinamakan Suku Baduy.
Ketika sampai pasukan perang Fatahilah di daerah Maudeg, didapati keadaan yang sudah kosong yang ada hanya bekasnya saja. Kemudian Fatahilah berucap seraya menyumpahi Prabu Jaya Dewata dengan ucapan (Sampe Pucuking Umum-Umum Ora Kudu Islam). Demikianlah nama Prabu Jaya Dewata disebut Prabu Pucuk Umum. Sehingga pada akhirnya Pasukan Fatahilah kembali ke Istana Kerajaan Banten. Selanjutnya Fatahilah dan Ajarjong mengembangkan ajaran Agama Islam selama satu tahun di Kerajaan Sunda Banten. Karena usia Fatahilah hampir lanjut usia, maka ia mengutus putranya untuk menggantikan kedudukannya yang bernama Saba Kingking pada saat itu seorang pemuda gagah berani serta pandai dalam ilmu agama Islam, saat masih kecil berada dalam asuhan Kerajaan Demak. Saba Kingking menjadi pimpinan Kerajaan Sunda Banten atas perintah ayahnya dengan didukung oleh Ajarjong dan Ajarju yang usianya lebih tua dari Saba Kingking sehingga memanggil kakak dengan panggilan Masjong dan Masju yang disebut pada saat itu (Masjong dan Agusju).
Dengan waktu beberapa tahun lamanya Saba Kingking menjadi pimpinan. Dengan melihat keberadaan perekonomian di Kerajaan Sunda Banten yang kurang menguntungkan, maka Saba Kingking bersama Masjong dan Agusju beserta para tokoh lainnya, merundingkan Kerajaan Sunda Banten, untuk segera dipindahkan ke pesisir utara, karena sudah tidak berfungsinya pelabuhan Teluk Banten yang berada di wilayah Kelapa Dua. Setelah kota kerajaan Sunda Banten berhasil dipindahkan ke Pantai Utara dengan membangun Kota Kerajaan Surosoan. Pada saat itulah Saba Kingking yang mendapat julukan sebagai Sultan Banten sekitar tahun 1525 M.
Pada akhirnya Masjong wafat dan dikuburkan di Banten Girang yang diberi nama penghargaan Masjong Patih Legendaris Banten. Saba Kingking telah mendapat julukan sebagai Sultan Banten yang berhasil membangun pelabuhan Banten sehingga para saudagar dari Arab berdatangan dan Saba Kingking mendapat gelar dari orang Arab sebagai Sultan Maulana Hasanudin pada tahun 1552 M sampai tahun 1570 M.
Saat Saba Kingking mendapat gelar Sultan Maulana Hasanudin, Ajarju masih menjadi pendampingnya. Namun Ajarju wafat pada tahun 1554 M, dan dikuburkan di Banten Girang. Sultan Maulana Hasanudin sebagai penguasa di Kerajaan Surosoan Banen dengan wilayah meliputi wilayah Lampung sampai dengan Bengkulu. Sultan Maulana Hasanudin wafat pada tahun 1570 M dan digantikan oleh Sultan Maulana Yusuf yang dikenal keberhasilannya menaklukkan daerah pegunungan selatan yang tidak mau mengakui Kerajaan Islam Banten.
Sultan Maulana Yusuf wafat pada tahun 1580 M dan kedudukannya digantikan oleh putranya yang bernama Maulana Muhamad tetapi ia gugur pada saat berusaha menguasai daerah Palembang pada tahun 1596 M. Kemudian kedudukannya digantikan oleh Abdul Mufahir Mahmud Abdul Kadir (1596 M - 1640 M) dan kemudian digantikan oleh Sultan Abdul Fatah (1651 M - 1682 M) yang lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. Beliau terkenal dengan kebenciannya kepada Belanda. Namun ternyata bertentangan dengan sikap putranya yang bernama Abdul Kohar justru memihak Belanda. Sultan Ageng Tirtayasa pada akhirnya dapat dikalahkan dan ditawan di Batavia oleh Belanda hingga wafat dan dikuburkan di Surosoan Banten. Sehingga kedudukan Sultan Ageng Tirtayasa diganti oleh Abdul Kohar dengan gelar Sultan Haji.
Belanda yang ingin menguasai Banten sehingga merekayasa Sultan Haji untuk segera melaksanakan Haji dengan dibantu oleh Belanda, dalam keberangkatan Sultan Haji ke tanah suci Mekah, Keraton Surosoan Banten dikuasai oleh Belanda. Rakyat Banten tidak senang dengan Belanda, maka rakyat Banten berkumpul di Banten Girang yang dipimpin oleh Ki Duhan, putra dari Sultan Ageng Tirtayasa yang terakhir yang tidak senang dengan sifat kakaknya. Pada saat akan diadakan penyerangan, Banten Girang diganti namanya dengan nama Tirtalaya maka terkumpul sebanyak 2000 orang untuk menghancurkan Keraton Surosoan Banten yang dikuasai dan diduduki oleh Belanda terjadi pada tahun 1689 M.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar