Rabu, 23 November 2016

BERANI MENJADI DIRI SENDIRI



Mengutip kalimat terkenal yang dilontarkan Marx, “Para filsuf,” demikian Marx, “hanya menafsirkan dunia dengan cara yang berbeda-beda, padahal yang penting adalah mengubahnya”. Kalimat tersebut juga pernah diacu Dr. Simon Lilik pada salah satu kolom Vox di Kompas. Marx berpendapat bahwa yang harus diubah adalah realitas sosial, yakni struktur politik dan ekonomi yang membuat manusia terasing dari dirinya sendiri. Pada tulisan ini, saya ingin memberikan tafsiran baru atas kata ‘nya’ dari ‘mengubah-nya’. Yang harus diubah bukanlah realitas sosial, melainkan sudut pandang individu, atau cara seseorang melihat dirinya sendiri dan dunianya.

Kita jangan terlalu berambisi dan terburu-buru ingin mengubah realitas sosial, melainkan carilah dulu jati diri dan identitas diri kita sendiri terlebih dahulu. Mungkin, kita adalah bagian dari permasalahan yang tengah menjangkiti realitas sosial yang kita hidupi. Atau jangan-jangan, justru kitalah bagian dari realitas sosial yang harus diubah! “Refleksi diri,” demikian tulis Thomas Hidya Tjahya, “dan proses pencarian untuk menjadi diri sendiri menjadi sangat penting sebelum kita berintensi dan bertindak untuk mengubah realitas”.

Di tataran filosofis, Marx, dengan kalimatnya itu, sebenarnya ingin mengkritik filsafat Hegel. Ia melancarkan kritik ideologi dengan tujuan mempertajam refleksi Hegel tentang keterasingan, dan menemukan sumber inspirasi sekaligus analisanya dari realitas politik dan ekonomi masyarakat. Kritik semacam itu memang sah-sah saja, akan tetapi baik Marx ataupun Hegel gagal melihat dimensi pergulatan eksistensial dan subyektivitas manusia. Yang terakhir ini menjadi fokus perhatian dari seorang filsuf yang bernama Kierkegaard. “Berfilsafat dengan cara Hegel,” demikian tulis Hidya Tjahya, “bagaikan naik ke puncak gunung dan memandang ke bawah”. Di atas puncak gunung, orang dapat melihat keseluruhan pengaturan suatu wilayah.

Memang, dari jauh, semuanya kelihatan indah, rapi, dan teratur. Yang tidak tampak dimata kita adalah apa yang sebenarnya terjadi di bawah atap rumah, atau lebih dalam lagi, apa yang sedang berkecamuk di dalam hati penghuni rumah itu: suami istri yang sedang bertengkar meributkan masalah ekonomi keluarga, seorang pemuda yang sedang putus cinta akibat ditinggal pacarnya, seorang pemudi yang kebingungan menentukan masa depannya, seorang bapak yang baru saja kehilangan pekerjaannya, dan resah harus bagaimana menghidupi keluarganya.

Dalam sistem masyarakat yang secara global bersifat rasional, segala sesuatu sudah mendapatkan tempatnya yang pas. Individu, dengan segala keunikan dan kompleksitasnya, pun terhisap di dalam “gambar besar” dunia manusia tersebut, sehingga manusia kehilangan hakekatnya sebagai mahluk personal, yang memiliki kebebasan dalam menentukan dirinya sendiri. Upaya untuk memahami kehidupan manusia tidak bisa hanya dilakukan secara global saja, melainkan personal dan eksistensial. Pengalaman manusia terlalu kaya dan fluktuatif untuk bisa dipahami secara rasional. Eksistensinya sangat terfragmentasi, sehingga ia merindukan suatu kesatuan yang menyeluruh, yang dapat menjadi makna bagi hidupnya.

Pertanyaan mengenai makna hidup hanya dapat dijawab dengan menengok ke dalam subyektivitas, dan dengan memperhatikan kehidupan spiritual batiniah seseorang. Subyektivitas, menurut seorang filsuf Perancis yang bernama Descartes, terletak di dalam kemampuan manusia berpikir secara logis, rasional, dan terpilah-pilah. Ia merumuskannya dalam sebuah kalimat padat, “Aku berpikir maka aku ada”. Akan tetapi, subyektivitas manusia pun terlalu kaya dan kompleks untuk termuat begitu saja di dalam rumusan itu. Subyetivitas manusia juga menempati dimensi yang berlawanan dengan optimisme Descartes itu, yakni dalam keberaniannya untuk bergulat dengan pilihan-pilihan hidup, pun ketika pilihan tersebut harus dibuat dalam keadaan kurangnya informasi, yang pada akhirnya menimbulkan penderitaan. Rumusan yang berlawan dengan optimisme kerasionalan manusia itu dipadatkan dalam kalimat berikut, “Aku memilih maka aku ada”. Tugas membuat pilihan ini ada pada setiap manusia, dan berlangsung dalam proses pergulatan batin untuk menentukan sebuah keputusan atau pilihan hidup. Otentisitas manusia hanya dapat diraih dalam keberaniannya untuk membuat keputusan dan pilihan-pilihan penting dalam hidupnya.

Problem tentang otentisitas yang berkaitan dengan makna hidup sudah menjadi problem sepanjang sejarah filsafat. Akan tetapi, pendekatan yang dilakukan selalu saja dari sudut pandang global, abstrak, metafisik, sehingga kehilangan dimensi personalitasnya. Yang saya maksud disini adalah bukan makna yang dijawab secara abstrak dengan rumusan konseptual yang rasional, melainkan apa artinya anda, saya, dan dia adalah manusia, yang masing-masing mempunyai jawaban untuk dirinya sendiri secara personal, atau dengan kata lain, sebuah panggilan hidup.

Dunia sosial
Dalam dunia sosial, orang dapat begitu saja terlarut di dalam publik, kerumunan, dan sistem sosial, sehingga lupa pada pencarian identitas dan otentisitas hidupnya. Negara yang menghomogenisasi rakyatnya dari sudut agama maupun etnik, atau lingkungan kerja otoriter, yang menuntut kesetiaan total dari seorang individu, merupakan musuh bagi identitas serta otentisitas hidup seseorang. Resiko yang dapat muncul jika orang hidup di lingkungan seperti itu adalah kehilangan jati diri. Jika sudah seperti itu, orang tidak lagi memiliki keberanian untuk menyatakan siapa dirinya, dan apa yang dipikirkannya. Bahkan, individu-individu yang sudah hidup terlarut di dalam ayunan sistem dapat dengan mudah mengidentifikasikan dirinya dengan sistem tersebut.

Mungkin, manusia memang lebih senang hidup terlarut dalam sistem, daripada menyatakan siapa dirinya. Di dalam sistem, individu tidak pernah kesepian, ia selalu berada bersama rekan yang lain, sehingga ia tak perlu berjuang sendiri melawan arus. Ia akan selamat hanya dengan mengikuti saja arus yang mengalir. Tentu saja, ia tidak akan peduli jika hidup yang dihayati hanya begitu-begitu saja, tanpa gairah untuk menghidupinya.

Hidup begitu saja memang mudah. Akan tetapi, hidup dalam kesadaran yang otentik akan eksistensinya yang khas sebagai manusia itulah yang paling sulit. Menurut Kierkegaard, salah seorang filsuf eksistensialis, manusia adalah pengada yang memiliki kesadaran, bukan saja terhadap apa yang ada di sekitarnya, melainkan juga kesadaran atas diri dan eksistensinya sendiri. Dengan kata lain, manusia memiliki kemampuan untuk melampaui segala bentuk hasrat-hasrat spontan, yang seringkali mendikte dirinya. Kesadaran dan refleksi akan memberi kesempatan kepada manusia untuk mengatur, dan memproyeksikan hidupnya ke masa depan. Kesadaran, dengan demikian, menjadi basis bagi kebebasan manusia untuk menentukan hidupnya dan menjadi dirinya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar