Di dalam pandangan
klasik, kebebasan dipertentangkan dengan konsep determinisme (determinism),
yakni paham yang berpendapat, bahwa semua pikiran, tindakan, dan perilaku
manusia sudah ditentukan sebelumnya, baik secara sosial ataupun biologis.
Artinya jika orang ditentukan oleh lingkungan sosialnya, atau oleh kondisi
tubuhnya, maka ia tidaklah bebas. Inilah argumen yang coba dipertahankan oleh
para ilmuwan psikologi dan neurosains.
Namun pada hemat
saya, argumen ini salah arah. Fakta bahwa kita dipengaruhi oleh faktor-faktor
sosial dan biologis tidak berarti bahwa kita tidaklah bebas. Sebaliknya
kebebasan -jika dipahami sebagai kemampuan manusia untuk mempertimbangkan
secara rasional pilihan-pilihan hidupnya, memutuskan berdasarkan pertimbangan
itu, serta mengontrol dirinya dari hasrat-hasrat yang bertentangan dengan
keputusan maupun tujuannya- justru berada di dalam konteks lingkungan sosial
maupun biologis manusia. Jadi kebebasan dan determinisme sebenarnya tidaklah
perlu dipertentangkan.
Menjamin
Libet dan John-Dylan Haynes melakukan penelitian dengan menggunakan fMRI untuk
menemukan pola saraf di otak, ketika orang melakukan keputusan. Mereka
menemukan bahwa sebelum orang membuat keputusan, atau sebelum ia sadar bahwa
telah memutuskan, ada gelombang-gelombang otak yang tampak. Dapatkah
disimpulkan bahwa keputusan itu muncul bukan dari kehendak bebas manusia,
melainkan dari reaksi-reaksi gelombang otak yang tampak dengan jelas di dalam
fMRI? Lalu siapa yang sesungguhnya menjadi “tuan” atas keputusan-keputusan yang
telah dibuat oleh manusia?
Menurut saya dari
penelitian itu, kita tetap tak dapat sampai pada kesimpulan, bahwa kebebasan
manusia adalah ilusi. Bahkan kita juga belum bisa memutuskan secara pasti,
apakah gelombang otak tersebut yang melahirkan keputusan, atau sebaliknya,
yakni keputusan manusia yang mengaktifkan gelombang otak tersebut? Dan
seperti sudah saya jelaskan sebelumnya, kebebasan manusia terkait erat dengan
kemampuan manusia untuk berpikir, dan tindak berpikir selalu melibatkan otak.
Maka penelitian di atas tidak melenyapkan kebebasan, tetapi justru menegaskan,
bahwa kebebasan manusia itu ada, dan itu melibatkan unsur-unsur sosial maupun
biologis manusia.
Juga perlu diingat
bahwa pikiran (mind) manusia itu terbagi dua, antara pikiran sadar dan
pikiran yang relatif mekanis. Pikiran sadar digunakan ketika orang diminta
untuk membuat keputusan tentang hal-hal yang amat penting dalam hidupnya.
Sementara pikiran relatif mekanis digunakan untuk melakukan hal-hal rutin di
dalam kehidupan sehari-harinya. Di dalam dua bentuk pikiran ini, aktivitas otak
jelas berbeda.
Pada pikiran sadar
aktivitas gelombang otak akan sangat besar. Sementara pada pikiran yang relatif
mekanis, aktivitas gelombang otak akan tampak lebih kecil. Namun harus
diingatkan bahwa keduanya merupakan aktivitas berpikir, baik berpikir mendalam
ataupun rutin, dan itu dengan jelas menunjukkan kebebasan kita sebagai manusia.
Kebebasan yang tidak melayang secara metafisik, melainkan tertanam begitu erat
di dalam konteks biologis manusia.
Kebebasan adalah
kemampuan manusia untuk mempertimbangkan, memilih dari berbagai pilihan yang
ada, dan mengontrol dirinya sendiri. Dan pilihan itu hanya mungkin di dalam
lingkungan sosial, dan juga karena manusia selalu sudah berada di dalam
lingkungan sosialnya. Tidak mungkin kita bisa membayangkan manusia yang hidup
tanpa konteks sosial. Artinya kebebasan tidak bertentangan dengan fakta, bahwa
kita ditentukan secara sosial oleh komunitas tempat kita hidup. Namun justru
sebaliknya bahwa komunitas sosiallah yang memungkinkan kita mendapatkan dan
menggunakan kebebasan kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar