Pada awalnya anak cucu dari keturunan
Kerajaan Pajajaran dan Kerajaan Galuh Pakuan yang bernama Prabu Jaya Dewata
yang di sebut Prabu Pucuk Umum, serta Ajarjong dan Ajarju yang disebut Masjong
dan Agusju.
Prabu Jaya Dewata mendirikan
Kerajaan Sunda Banten di Banten Girang bekas kerajaan sunda yang bernama
Kerajaan Wahanten pada masa lalu, yang ditinggalkan oleh rajanya yang bernama
Prabu Jaya Bupati pada tahun 1030 M. Prabu Jaya Dewata menjadi penguasa di
Kerajaan Sunda Banten pada tahun 1480 M. Kerajaan Sunda Banten semakin ramai
dikunjungi para pedagang lokal maupun para saudagar dari negeri China. Namun
dalam waktu yang cukup lama debit air sungai Cibanten mengalami penurunan
sehingga menyebabkan kandasnya perahu layar yang membawa barang dagangan para
saudagar China
Dengan
selang waktu beberapa tahun lamanya, Prabu Jaya Dewata segera memerintahkan
kepada para penggawa dan rakyatnya yang didampingi oleh dua orang pemuda gagah
dan berani yang bernama Ajarjong dan Ajarju untuk membangun pelabuhan perahu
layar di daerah Kelapa Dua terusan dari sungai Cibanten tepatnya sebelah utara
dari pusat Kota Serang.
Pelabuhan
pada masa itu dinamakan Pelabuhan Teluk Banten yang dilengkapi sarana jalan
tanah (darat), yang melalui daerah Kelapa Dua, Lontar, Koloran Penah, Kaujon
Kidul, Kalunjukan dan berakhir di Banten Girang. Jalur tersebut merupakan
sarana transportasi pembawa barang dagangan untuk dipasarkan di kota Banten
Girang. Dengan selesainya pembangunan Pelabuhan Teluk Banten, maka kemajuan
perekonomian Kerajaan Sunda Banten semakin pesat, sehingga pada tahun
berikutnya Banten Girang berhasil diperluas dan dikembangkan. Pada bagian
sebelah timur berhasil membangun bangunan yang dinamakan “Guha” digunakan untuk
tempat tahanan orang-orang yang melanggar peraturan hukum di Kerajaan Sunda
Banten, serta pada saat itu juga disebelah selatan berhasil memperluas banguan
Keraton Banten. Dan di bagian sebelah barat Keraton berhasil membangun kolam
penampungan air untuk keperluan orang-orang di Keraton, situs ini yang
dinamakan Kolam Sipadaringan. Serta pembangunan pada parit-parit Benteng
Kerajaan Sunda Banten yang dilengkapi menara pengintai untuk menjaga keamanan
Keraton Banten Girang, dengan demikian pembangunan Kerajaan Sunda Banten pada
saat itu kemajuannya semakin pesat.
Selang
beberapa tahun, Ajarjong sebagai patih Kerajaan Sunda Banten mengusulkan kepada
Rajanya untuk bisa mengangkat kedudukan adiknya yang bernama Ajarju. Permohonan
dari Ajarjong pada saat itu mendapat hambatan dari pihak keluarga Raja, sehingga
timbul penolakan secara diam-diam. Dalam penilaian Ajarjong, Prabu Jaya Dewata
berbuat tidak adil kepada Ajarju, karena dalam memberikan kekuasaan untuk
mengatur pemerintahan Kerajaan Sunda Banten hanya dari pihak keluarga Raja.
Dengan
demikian Ajarjong merasa gelisah dan sakit hati yang mendalam kepada Prabu Jaya
Dewata. Pada saat itulah Ajarjong meninggalkan Kerajaan Sunda Banten dan juga
meninggalkan adiknya. Ajarjong pergi menuju arah timur dan akhirnya sampai di
Keraton Demak serta mengabdi kepada Raja Demak yang bernama Sultan Terenggono.
Pada saat itu Kerajaan Demak telah mengadakan pesta pernikahan adik perempuan
Sultan Terenggono dengan Paletehan (Fatahilah) yang memiliki keahlian baik
dalam bidang agama Islam maupun dalam ilmu bela diri, sehingga Sultan
Terenggono merasa tertarik kemudian Fatahilah dinikahkan dengan adiknya.
Beberapa
waktu kemudian, Ajarjong dengan Fatahilah yang sama-sama dari negeri jauh
(Ajarjong berasal dari Kerajaan Sunda Banten dan Fatahilah berasal dari Pasai)
semakin akrab dan Ajarjong mendalami ilmu agama Islam dengan dituntun oleh
Fatahilah.
Pada
suatu saat, Sultan Terenggono memerintahkan kepada Fatahilah untuk menyerang
dan meng-Islam-kan Banten Girang. Selang waktu yang tidak lama, berangkatlah
Fatahilah dengan Ajarjong sebagai penunjuk jalan serta paham kelemahan Keraton
Sunda Banten (Banten Girang) dan dilengkapi dengan pasukan perang Kerajaan
Demak. Di Kerajaan Sunda Banten tampak tanda-tanda kemunduran setelah
ditinggalkan oleh seorang patih yang dapat dipercaya dan berperan penting dalam
mendirikan Kerajaan Sunda Banten. Hal tersebut disebabkan karena para pembantu
dari pihak keluarga Raja yang kurang mampu melaksanakan tugasnya yang ditempatkan
dalam peranan penting di dalam pemerintahan.
Kemunduran
Kerajaaan Sunda Banten juga disebabkan oleh faktor alam, yaitu air laut yang
semakin turun sehingga pelabuhan Teluk Banten yang berlokasi di sekitar terusan
Sungai Cibanten pada akhirnya tidak bisa disandari perahu-perahu layar pembawa
barang dagangan yang datang dari negeri
China untuk dipasarkan di kota Kerajaan Sunda Banten (Banten Girang).
Kemerosotan
perekonomian yang terjadi di Kerajaan Sunda Banten telah dirasakan oleh Prabu
Jaya Dewata, dengan kepercayaan agama Hindu yang dianutnya pada saat itu Prabu
sering meninggalkan singgasana Kerajaan untuk bertapa ke Gunung Kaesala (Gunung
Pulosari) Pandeglang dengan tujuan agar mendapat wangsit atau petunjuk dari
Tuhannya. Dengan harapan Kerajaan Sunda Banten pulih kembali.
Sesampainya
pasukan Fatahilah yang di pelopori oleh Ajarjong di depan pintu gerbang
Kerajaan Sunda Banten, maka terlihat oleh Ajarju bahwa yang membawa pasukan
perang adalah saudaranya. Kemudian Ajarjong menerangkan maksud kedatangannya,
dengan cepat Ajarju mempersilahkan untuk segera memasuki Istana Kerajaan Sunda
Banten. Pada akhirnya pasukan perang Islam Demak berhasil menduduki Keraton
Kerajaan Sunda Banten yang dipimpin oleh Fatahilah dengan Ajarjong serta dengan
waktu yang sangat singkat, penyebaran Agama Islam dilakukan kepada rakyat Sunda
Banten.
Prabu
Jaya Dewata yang sedang berada di petapaan Gunung Kaesala ketika mendengar
laporan dari rakyatnya dengan diceritakan mengenai keadaan di Keraton Banten Girang yang sudah dikuasai pasukan
Islam Demak yang dipimpin oleh Fatahilah
dengan Ajarjong, maka dengan geramnya Prabu Jaya Dewata mengancam akan
membunuhnya. Dengan segera Prabu Jaya Dewata turun dari petapaan Gunung Kaesala
(Gunung Pulosari) dengan beberapa puluh orang pengikutnya menuju Keraton Sunda
Banten. Ketika di dalam perjalanan sampai di suatu tempat yang dinamakan daerah
Maudeg tepatnya antara perbatasan kabupaten Serang dengan Pandeglang, pada saat
itu Prabu Jaya Dewata memerintahkan untuk berhenti dan menugaskan kepada dua
orang untuk memata-matai situasi di Keraton Banten yang telah di duduki pasukan
Islam.
Dengan
sekembalinya dua orang utusan Prabu Jaya Dewata, maka diceritakannya bahwa dari
setiap penjuru Keraton sudah dipenuhi pasukan perang berjaga-jaga untuk
menghadang musuh yang datang. Sehingga pada saat itu Prabu Jaya Dewata
memutuskan untuk bertahan sementara waktu dengan menyusun penyerangan. Dalam
waktu yang sangat singkat masyarakat yang ada disekitar Kerajaan Sunda Banten
berhasil dibujuk menjadi muslim oleh Ajarjong dan Fatahilah.
Dengan
sibuknya pengenalan agama Islam maka tertangkap pembicaraan dari masyarakat
oleh Ajarjong, yang bernada dalam bahasa sunda Moalmahi Ka Ratu Aing mah Ken Engkegeh. Dengan hasil penyelidikan
Ajarjong bahwa Prabu Jaya Dewata yang ada di daerah Maudeg sedang menyusun
Pasukan untuk menyerang Keraton Sunda. Dengan segera di laporkan kepada Fatahilah.
Setelah mendengar berita ancaman dari Prabu Jaya Dewata, maka Fatahilah segera
memerintahkan penyerangan terlebih dulu ke daerah Maudeg. Ketika pasukan perang
Fatahilah berada di perjalanan, para pengintai
mengetahui hal tersebut dan melaporkannya kepada Prabu Jaya Dewata.
Karena merasa terancam, Prabu Jaya Dewata segera berkemas dan meninggalkan
daerah Maudeg, dengan diikuti oleh 40 orang pengikut setianya menuju daerah
pedalaman pegunungan selatan, sehingga menempat di daerah Cikertawana Kabupaten
Lebak Rangkasbitung, pada saat ini yang dinamakan Suku Baduy.
Ketika
sampai pasukan perang Fatahilah di daerah Maudeg, didapati keadaan yang sudah
kosong yang ada hanya bekasnya saja. Kemudian Fatahilah berucap seraya
menyumpahi Prabu Jaya Dewata dengan ucapan (Sampe
Pucuking Umum-Umum Ora Kudu Islam). Demikianlah nama Prabu Jaya Dewata
disebut Prabu Pucuk Umum. Sehingga pada akhirnya Pasukan Fatahilah kembali ke
Istana Kerajaan Banten. Selanjutnya Fatahilah dan Ajarjong mengembangkan ajaran
Agama Islam selama satu tahun di Kerajaan Sunda Banten. Karena usia Fatahilah
hampir lanjut usia, maka ia mengutus putranya untuk menggantikan kedudukannya
yang bernama Saba Kingking pada saat itu seorang pemuda gagah berani serta
pandai dalam ilmu agama Islam, saat masih kecil berada dalam asuhan Kerajaan
Demak. Saba Kingking menjadi pimpinan Kerajaan Sunda Banten atas perintah ayahnya
dengan didukung oleh Ajarjong dan Ajarju yang usianya lebih tua dari Saba
Kingking sehingga memanggil kakak dengan panggilan Masjong dan Masju yang
disebut pada saat itu (Masjong dan Agusju).
Dengan
waktu beberapa tahun lamanya Saba Kingking menjadi pimpinan. Dengan melihat
keberadaan perekonomian di Kerajaan Sunda Banten yang kurang menguntungkan,
maka Saba Kingking bersama Masjong dan Agusju beserta para tokoh lainnya,
merundingkan Kerajaan Sunda Banten, untuk segera dipindahkan ke pesisir utara, karena
sudah tidak berfungsinya pelabuhan Teluk Banten yang berada di wilayah Kelapa
Dua. Setelah kota kerajaan Sunda Banten berhasil dipindahkan ke Pantai Utara
dengan membangun Kota Kerajaan Surosoan. Pada saat itulah Saba Kingking yang
mendapat julukan sebagai Sultan Banten sekitar tahun 1525 M.
Pada
akhirnya Masjong wafat dan dikuburkan di Banten Girang yang diberi nama
penghargaan Masjong Patih Legendaris Banten. Saba Kingking telah mendapat
julukan sebagai Sultan Banten yang berhasil membangun pelabuhan Banten sehingga
para saudagar dari Arab berdatangan dan Saba Kingking mendapat gelar dari orang
Arab sebagai Sultan Maulana Hasanudin pada tahun 1552 M sampai tahun 1570 M.
Saat
Saba Kingking mendapat gelar Sultan Maulana Hasanudin, Ajarju masih menjadi pendampingnya.
Namun Ajarju wafat pada tahun 1554 M, dan dikuburkan di Banten Girang. Sultan
Maulana Hasanudin sebagai penguasa di Kerajaan Surosoan Banen dengan wilayah
meliputi wilayah Lampung sampai dengan Bengkulu. Sultan Maulana Hasanudin wafat
pada tahun 1570 M dan digantikan oleh Sultan Maulana Yusuf yang dikenal
keberhasilannya menaklukkan daerah pegunungan selatan yang tidak mau mengakui
Kerajaan Islam Banten.
Sultan
Maulana Yusuf wafat pada tahun 1580 M dan kedudukannya digantikan oleh putranya
yang bernama Maulana Muhamad tetapi ia gugur pada saat berusaha menguasai
daerah Palembang pada tahun 1596 M. Kemudian kedudukannya digantikan oleh Abdul
Mufahir Mahmud Abdul Kadir (1596 M - 1640 M) dan kemudian digantikan oleh
Sultan Abdul Fatah (1651 M - 1682 M) yang lebih dikenal dengan nama Sultan
Ageng Tirtayasa. Beliau terkenal dengan kebenciannya kepada Belanda. Namun ternyata
bertentangan dengan sikap putranya yang bernama Abdul Kohar justru memihak
Belanda. Sultan Ageng Tirtayasa pada akhirnya dapat dikalahkan dan ditawan di
Batavia oleh Belanda hingga wafat dan dikuburkan di Surosoan Banten. Sehingga
kedudukan Sultan Ageng Tirtayasa diganti oleh Abdul Kohar dengan gelar Sultan
Haji.
Belanda
yang ingin menguasai Banten sehingga merekayasa Sultan Haji untuk segera
melaksanakan Haji dengan dibantu oleh Belanda, dalam keberangkatan Sultan Haji
ke tanah suci Mekah, Keraton Surosoan Banten dikuasai oleh Belanda. Rakyat
Banten tidak senang dengan Belanda, maka rakyat Banten berkumpul di Banten
Girang yang dipimpin oleh Ki Duhan, putra dari Sultan Ageng Tirtayasa yang
terakhir yang tidak senang dengan sifat kakaknya. Pada saat akan diadakan
penyerangan, Banten Girang diganti namanya dengan nama Tirtalaya maka terkumpul
sebanyak 2000 orang untuk menghancurkan Keraton Surosoan Banten yang dikuasai
dan diduduki oleh Belanda terjadi pada tahun 1689 M.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar