Mengutip
kalimat terkenal yang dilontarkan Marx, “Para filsuf,” demikian Marx, “hanya
menafsirkan dunia dengan cara yang berbeda-beda, padahal yang penting adalah
mengubahnya”. Kalimat tersebut juga pernah diacu Dr. Simon Lilik pada salah
satu kolom Vox di Kompas. Marx berpendapat bahwa yang harus diubah adalah
realitas sosial, yakni struktur politik dan ekonomi yang membuat manusia
terasing dari dirinya sendiri. Pada tulisan ini, saya ingin memberikan tafsiran
baru atas kata ‘nya’ dari ‘mengubah-nya’. Yang harus diubah bukanlah realitas
sosial, melainkan sudut pandang individu, atau cara seseorang melihat dirinya
sendiri dan dunianya.
Kita
jangan terlalu berambisi dan terburu-buru ingin mengubah realitas sosial,
melainkan carilah dulu jati diri dan identitas diri kita sendiri terlebih
dahulu. Mungkin, kita adalah bagian dari permasalahan yang tengah menjangkiti
realitas sosial yang kita hidupi. Atau jangan-jangan, justru kitalah bagian
dari realitas sosial yang harus diubah! “Refleksi diri,” demikian tulis Thomas
Hidya Tjahya, “dan proses pencarian untuk menjadi diri sendiri menjadi sangat
penting sebelum kita berintensi dan bertindak untuk mengubah realitas”.
Di
tataran filosofis, Marx, dengan kalimatnya itu, sebenarnya ingin mengkritik
filsafat Hegel. Ia melancarkan kritik ideologi dengan tujuan mempertajam
refleksi Hegel tentang keterasingan, dan menemukan sumber inspirasi sekaligus
analisanya dari realitas politik dan ekonomi masyarakat. Kritik semacam itu
memang sah-sah saja, akan tetapi baik Marx ataupun Hegel gagal melihat dimensi
pergulatan eksistensial dan subyektivitas manusia. Yang terakhir ini menjadi
fokus perhatian dari seorang filsuf yang bernama Kierkegaard. “Berfilsafat
dengan cara Hegel,” demikian tulis Hidya Tjahya, “bagaikan naik ke puncak
gunung dan memandang ke bawah”. Di atas puncak gunung, orang dapat melihat
keseluruhan pengaturan suatu wilayah.
Memang,
dari jauh, semuanya kelihatan indah, rapi, dan teratur. Yang tidak tampak
dimata kita adalah apa yang sebenarnya terjadi di bawah atap rumah, atau lebih
dalam lagi, apa yang sedang berkecamuk di dalam hati penghuni rumah itu: suami
istri yang sedang bertengkar meributkan masalah ekonomi keluarga, seorang
pemuda yang sedang putus cinta akibat ditinggal pacarnya, seorang pemudi yang
kebingungan menentukan masa depannya, seorang bapak yang baru saja kehilangan
pekerjaannya, dan resah harus bagaimana menghidupi keluarganya.
Dalam
sistem masyarakat yang secara global bersifat rasional, segala sesuatu sudah mendapatkan
tempatnya yang pas. Individu, dengan segala keunikan dan kompleksitasnya, pun
terhisap di dalam “gambar besar” dunia manusia tersebut, sehingga manusia
kehilangan hakekatnya sebagai mahluk personal, yang memiliki kebebasan dalam
menentukan dirinya sendiri. Upaya untuk memahami kehidupan manusia tidak bisa
hanya dilakukan secara global saja, melainkan personal dan eksistensial.
Pengalaman manusia terlalu kaya dan fluktuatif untuk bisa dipahami secara
rasional. Eksistensinya sangat terfragmentasi, sehingga ia merindukan suatu
kesatuan yang menyeluruh, yang dapat menjadi makna bagi hidupnya.
Pertanyaan
mengenai makna hidup hanya dapat dijawab dengan menengok ke dalam
subyektivitas, dan dengan memperhatikan kehidupan spiritual batiniah seseorang.
Subyektivitas, menurut seorang filsuf Perancis yang bernama Descartes, terletak
di dalam kemampuan manusia berpikir secara logis, rasional, dan terpilah-pilah.
Ia merumuskannya dalam sebuah kalimat padat, “Aku berpikir maka aku ada”. Akan
tetapi, subyektivitas manusia pun terlalu kaya dan kompleks untuk termuat
begitu saja di dalam rumusan itu. Subyetivitas manusia juga menempati dimensi
yang berlawanan dengan optimisme Descartes itu, yakni dalam keberaniannya untuk
bergulat dengan pilihan-pilihan hidup, pun ketika pilihan tersebut harus dibuat
dalam keadaan kurangnya informasi, yang pada akhirnya menimbulkan penderitaan.
Rumusan yang berlawan dengan optimisme kerasionalan manusia itu dipadatkan
dalam kalimat berikut, “Aku memilih maka aku ada”. Tugas membuat pilihan ini
ada pada setiap manusia, dan berlangsung dalam proses pergulatan batin untuk
menentukan sebuah keputusan atau pilihan hidup. Otentisitas manusia hanya dapat
diraih dalam keberaniannya untuk membuat keputusan dan pilihan-pilihan penting
dalam hidupnya.
Problem
tentang otentisitas yang berkaitan dengan makna hidup sudah menjadi problem
sepanjang sejarah filsafat. Akan tetapi, pendekatan yang dilakukan selalu saja
dari sudut pandang global, abstrak, metafisik, sehingga kehilangan dimensi
personalitasnya. Yang saya maksud disini adalah bukan makna yang dijawab secara
abstrak dengan rumusan konseptual yang rasional, melainkan apa artinya anda,
saya, dan dia adalah manusia, yang masing-masing mempunyai jawaban untuk
dirinya sendiri secara personal, atau dengan kata lain, sebuah panggilan hidup.
Dunia
sosial
Dalam
dunia sosial, orang dapat begitu saja terlarut di dalam publik, kerumunan, dan
sistem sosial, sehingga lupa pada pencarian identitas dan otentisitas hidupnya.
Negara yang menghomogenisasi rakyatnya dari sudut agama maupun etnik, atau
lingkungan kerja otoriter, yang menuntut kesetiaan total dari seorang individu,
merupakan musuh bagi identitas serta otentisitas hidup seseorang. Resiko yang
dapat muncul jika orang hidup di lingkungan seperti itu adalah kehilangan jati
diri. Jika sudah seperti itu, orang tidak lagi memiliki keberanian untuk
menyatakan siapa dirinya, dan apa yang dipikirkannya. Bahkan, individu-individu
yang sudah hidup terlarut di dalam ayunan sistem dapat dengan mudah mengidentifikasikan
dirinya dengan sistem tersebut.
Mungkin,
manusia memang lebih senang hidup terlarut dalam sistem, daripada menyatakan
siapa dirinya. Di dalam sistem, individu tidak pernah kesepian, ia selalu
berada bersama rekan yang lain, sehingga ia tak perlu berjuang sendiri melawan
arus. Ia akan selamat hanya dengan mengikuti saja arus yang mengalir. Tentu
saja, ia tidak akan peduli jika hidup yang dihayati hanya begitu-begitu saja,
tanpa gairah untuk menghidupinya.
Hidup
begitu saja memang mudah. Akan tetapi, hidup dalam kesadaran yang otentik akan
eksistensinya yang khas sebagai manusia itulah yang paling sulit. Menurut
Kierkegaard, salah seorang filsuf eksistensialis, manusia adalah pengada yang
memiliki kesadaran, bukan saja terhadap apa yang ada di sekitarnya, melainkan
juga kesadaran atas diri dan eksistensinya sendiri. Dengan kata lain, manusia
memiliki kemampuan untuk melampaui segala bentuk hasrat-hasrat spontan, yang
seringkali mendikte dirinya. Kesadaran dan refleksi akan memberi kesempatan
kepada manusia untuk mengatur, dan memproyeksikan hidupnya ke masa depan.
Kesadaran, dengan demikian, menjadi basis bagi kebebasan manusia untuk
menentukan hidupnya dan menjadi dirinya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar