1. Etnis
Melanesia
Etnis
menunjukkan identitas dengan beraneka ragam budaya kehidupan manusia yang
berbeda anatara satu dengan yang lain secara fisik. Sang khalik menempakan
rumpun melayu lebih banyak di asia, rumpun Melanesia lebih banyak ditempatkan
di Benua Afrika, sebagian di Benua Amerika dan sebagian kecil lainnya
ditempakan di kepulauan Pasifik. Diantaranya adalah Papua Barat, Papua Nugini
dan Ettnis Aborigin di Australia. Sedangkan etnis kulit putih lebih dominan
ditempatkan di Benua Eropa dan Benua Amerika.
Penduduk
Indonesia tergabung dari berbagai Etnis dan suku menjadi satu, yaitu satu
Bangsa, satu Tanah air, satu Bahasa. Konteks Bhineka Tunggal Ika merupakan
simbol sau kesatuan, namua pada kenyataannya tak sejalan dengan dengan simbol
satu kesatuan itu.pada praktek kehidupan sehari-hari rasa kesatuan itu tidak
pernah dirasakanoleh sebagian warga Negara Indonesia. Seperti bangsa Papua,
dimata pemerintah bangsa Papua identik dengan OPM atau Separatis yang
menghambat pembangunan.
Orang
Papua Barat sama sekali tidak memiliki kesamaan dengan etnis mayoritas di
Indonesia, seperti Jawa, sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Bali, dan suku-suku
lain. Rumpun Melayu di Indonesia dan ke semua ini didiami di Indonesia bagian
tengah dan barat, sedangkan orang Papua Barat berada di kepulauan Pasifik.
Orang Papua hingga saat ini tidak pernah mengakui diri sebagai bagian dari
bangsa Indonesia karena secara fisik etnis tidak sama dengan orang Melayu dan
sistem kekerabatan serta adat istiadatpun jauh berbeda.
Mencari
jati diri adalah sesuatu yang harus diketahui oleh seseorang atau suatu suku
dan bangsa, agar ia dapat memperoleh informasi terhadap dirinya sendiri baik
dari etnis, sukku dan golongan mana sehingga ia mengetahui jati diri atau asal
usul sesungguhnya. Jika di Papua terjadi penggelapan suku atau marga asli
seseorang , maka akan terjadi beberapa kemungkinan yaitu:
a. Pertumbuhan
anak dari seorang yang digelapkan suku atau marganya akan mengalami hambatan
terhadap fisiknya.
b. Tidak
akan mampu menurunkan seorang anak sebagai buah hati baginya.
c. Orang
yang digelapkan suku atau marganya dapat menurunkan anak-anak perempuan
sedangkan sistem yang di anut dalah sistem Patrilinial (anak laki-laki lebih
utama).
d. Mampu
menurunkan anak tetapi selalu keguguran.
e. Mampu
menurunkan anak tetapi semuanya mati hingga mereka tua.
Hal tersebut di atas,
dapat diatasi dengan mencari jalan keluar secara Adat untuk menyelamatkan orang
yang digelapkan suku atau marganya, hingga orang tersebut mendapatkan jati diri
yang sesungguhnya. Ada tiga golongan
rumpun terbesar penduduk di bumi yaitu Bangsa Rumpun kulit putih, Bangsa Rumpun
Melayu, dan bangsa kulit hitam.
Orang Papua Barat
Rumpun Melanesia dengan orang Indonesia berumpun Melayu secaara fisik maupun
nonfisik sama sekali berbeda. Papua menjadi bagian dari Indonesia yang tidak
dapat terpisahkan, namun perlu diingat bahwa meng-Indonesia-kan orang Papua
yang secara fisik dan budaya berbeda sama dengan menggelapkan identitas
sesungguhnya orang Papua asli. Rakyat Papua baraat
berteriak menyampaikan aspirasinya, namun upaya itu langsung berhadapan dengan
pihak keamanan. Di alam demokrasi, rakyat Papua Barat memberanikan diri untuk
menyampaikan keinginannya kepada Pemerintah, namun selalu ditekan, bahkan
dibunuh. Selama masih dalam cengkraman Indonesia, Bangsa Papua Barat tidak
dapat bertumbuh dan berkembang dengan baik untuk pembangunan dalam berbagai
bidang karena masyarakat Papua dicurigai terus menerus oleh “pemerintah”.
Persoalan yang mendasar
yakni Perbedaan Rumpun, Etnik dan masa lalu yang suram, dimana harapan yang
telah dijanjikan oleh Belanda kepada Papua dihancurkan oleh kekejaman Indonesia
hingga menyebabkan tokoh Besar Papua Dortheys Hiyo Eluay meninggal dunia akibat
dibunuh secara keji oleh Kopasus pada tanggal 10 November 2001. Hingga saat ini
pun rakyat Papua masih terus terbunuh akibat kekejaman militer Indonesia.
Penduduk asli Papua yang
disebut Rumpun Melanesia menjadi rakyat minoritas di Indonesia. Hal tersebut
menyebabkan bangsa Papua semakin tertindas dan tersingkir di tanah leluhurnya oleh
rakyat mayoritas (etnis Melayu). Hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya
penguasaan dalam segala bidang, baik bidang pertahanan, keamanan, pemerintahan, perdagangan, poltik maupun
dalam aspek kehidupan di Papua di kuasai oleh masyarakat non Papua yang hidup
di tanah Papua. Menurut pendapat Myron Weiner sangat tepat dengan apa yang
dialami bangsa Papua Barat, dimana rakyat minoritas mau tidak mau harus tunduk
terhadap pemerintah Indonesia. Dalam kondisi semacam ini mendorong bangsa Papua
untuk mncari jati diri sebagai bangsa Papua Barat, yang juga diharapkan agar
martabatnya diakui, dihargai, dihormati secara berwibawa sama dengan bangsa
lain di dunia.
Bintang Kejora dan lagu
Hai Tanahku Papua dipandang sebagai hal yang tabu karena dipandang identik
dengan Lambang separatis. Menurut
penulis, pandangan seperti itu keliru karena Lambang Bintang Kejora merupakan
lambang kultur rakyat Papua termasuk lagu Hai Tanahku Papua. Namun lambang daerah
dan lagu daerah sebagai symbol dan Rumpun Melanesia di Papua dijaga ketat dan
dilarang kalau benda iru berkibar.
Bendera Bintang Kejora
dan lagu Hai Tanahku Papua tidak perlu dipersoalkan karena sudh diatur dalam UU
Nomor 21 tahun 2001 pasal 2 (2) Provinsi Papua dapat memiliki lamang-lambang
daerah yang terdiri dari bendera dan lagu daerah sebagai panji-panji kultural.
Kebesaran dan keluhuran jati diri orang Papua, yang merupakan kekhususan
Provinsi Papua, yang penggunaannya disesuaikan dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku. Dan tidak diposisikan sebagai simbol
kedaulatan. (3) ketentuan dan bentu dan hal-hal sebagai ayat-ayat 2 akan diatur
dalam peraturan daerah khusus.(Agus Samule: 2003 :426)
Kesalahan pemerintah
Indonesia adalah persepsi masyarakat Indonesia terhadap Bintang Kejora sebagai
Lambang separatis yang mengganggu dan meresahkan kedaulatan NKRI dan tidak
dilihat sebagai symbol kultural orang asli Papua yang telah diatur dalam UU
Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Bendera Bintang Kejora
dan lagu Hai Tanahku Papua sebenarnya telah ditetapkan oleh Belanda sebagai
bendera kedaulatan dan lagu kebangsaan yang menumbuhkan harapan besar untuk bisa berdaulat, namun harapan itu tiba-tiba
diruntuhkan oleh Presiden Soekarno melalui pidato TRIKORA 19 Desember 1961 di
Jogjakarta, dengan tujuan membubarkan “Negara Boneka Papua Barat Buatan
Belanda” Penulis
berpikir bahwa meminta pengembalian dan pengakuan sebagai bangsa yang berdaulat
dan diakui, inilah yang dimaksud dengan mencari jati diri sebagai bangsa yang
berumpun Melanesia di Papua Barat. Bangsa Papua bukan meminta uang yang banyak,
bukan pemekaran provinsi , kabuparn/kota dan juga bukan jabatan, melainkan
meminta pengembalian kedaulatan untuk jeti diri yang sesungguhnya.
2. Geografis
Kalimantan dan Papua
merupakan paru-paru uang memberi nafas
bagi umat manusia diseluruh penjuru dunia. Posisi Indonesia adalah Negara kepulauan
terbesar dan wilayah Indonesia membentang dari timur ke barat pada khatulistiwa
sejauh lebih dari 5.110 Km pada garis Meridien membujur dari utara ke selatan
sejauh 1.880 Km terdiri atas lautan dan daratan.
Pulau Nieuw Guinea yang
sekarang disebut sebagai Papua yang letaknya paling timur dari wilayah
Indonesia yang merupakan pulau tercantik di dunia bia dibandingkan dengan
pulau-pulau yang ada di dunia. Julukan pulau Papua yang disebut Islade atau
pulau emas bukan suatu kebetulan tetapi hal tersebut benar adanya bahwa pulau
Papua sangat kaya raya dengan emas, tembaga, minyak, gas, dan kekayaan alam
lainnya. Ketertinggalan dari segi pembanguan disemua dimensi diakibatkan oleh
faktor letak geografisnya. Papua identik dengan ketertinggalan dari kemajuan
pembangunan fisik maupun non fisik. Jarak dan kondisi geografis selalu menjadi
alasan Indonesia namun pemerintah tidak pernah berpikir bagaimana agar kondisi
geografisnya dapat terjangkau dengan baik.
Rakyat Papua menjadi
korban akibat politik yang telah mengklaim mengintegrasikan wilayah yang jauh
di Pasifik ini dipaksa masuk kr wilayah Indonesia, namun Indonesia tidak mampu
mengangkat derajat dan martabat Bangsa Rumpun Melanesia. Papua ingin keluar
dari cengkeraman Pemerintah Indonesia, karena masa sejarah integrasi Papua
menjadi masalah mendasar bagi Bangsa Papua Barat, pemerintah Indonesia dan
masyarakat Internasional. Karena persoalan Papua Barat ialah persoalan
internasional bukan masalah internal Indonesia.
Secara geografis sudah
sangat tidak memungkinkan mengintegrasikan Papua Barat ke dalam wilayah
Indonesia yang jaraknya sangat jauh. Dari Papua ke ibu kota Negara harus
melewati dua samudera besar, yaitu samudera pasifik dan samudera Indonesia. Seandainya
Papua dalam sejarah integrasi tidak diintegrasikan ke dalam Indonesia, mungkin
Papua jauh lebih maju apapun alasannya karena dari sisi jumlah penduduk yang
sangat sedikit dan sumber daya alam yang berlimpah, maka rakyat Papua
seharusnya lebih maju dan berkembang daripada kondisi yang sangat memprihatinkan
saat ini.
Posisi dan letak
geografis seperti Indonesia sebagai Negara kepulauan dengan jangkauan yang
luas. Jujonto Suntami sudah mewahyuhkan bahwa paling lambat tahun 2015
Indonesia akan pecah menjadi 17 negara. Hal tersebut diperkirakan karena
Indonesia rawan perpecahan dalam berbagai dimensi. Negara-negara akan berdiri
sendiri mulai dari aceh sampai Papua Barat. Oleh karena itu, sebaiknya harus
dipikirkan bentuk Negara ini menjadi Negara federal sebagaimana yang pernah
dikemukakan oleh Prof.Dr.Amin Rais pada tahun 1997. Indonesia perlu langkah
baru untuk mencari solusi terbaik guna memberikan kesejahteraan bagi rakyat
terutama bagi rakyat Indonesia yang miskin.
3. Proses
Kolonialisasi Dan Klaim Indonesia Terhadap Papua Barat
Tidak ada satupun
alasan Republik Indonesia saat ini untuk terus menduduki Papua Barat. Alasan
yang diberikan Indonesia ternyata hanya alasan spekulatif/ manipulative yang
digunakan Soekarno untuk melegitimasi ambisi kekuasaan dan ambisi ekspasionis
saat menjadi pemimpin revolusi bangsa Indonesia. Alasan tersebut tidak dapat
diterima oleh bangsa Papua Barat karena sampai saat ini tidak ada prasasti
maupun bukti sejarah yang dapat dijadikan sebagai dasar bukti legitimasi
terhadap kekuasaan Majapahit di daerah tersebut. Begitu pula tidak ada catatan
sejarah yang mengungkapkan hubungan antara Kesultnan Tidore dengan Papua Barat.
Ottow mengutip dari Kamma, 1981 bahkan daratan (mainland) Papua Barat tidak
pernah diduduki oleh orang luar karena dianggap sebagai daerah iblis yang
angker dan menakutkan.
Sejarah membuktikan
bahwa klaim kerajaan Majapahit maupun Sultan Tidore menyatakan menguasai dan
memduduki sampai ke pulau Papua Barat ternyata tidak terbukti. Dan tidak ada
satupun Kesultanan atau kerajaan yang menguasai dan menduduki pulau Papua
Barat. Sebaliknya kesultanan Tidore meminta bantuan kepada panglima besar Mambri
Kurabesi. Pada bulan Juli 1945,
BPUPKI mengadakan dua kali persidangan untuk menentukan batas-batas RI yang
akan diproklamirkan dan dihadiri oleh semua tokoh Nasional Indonesia. Sebagian
besar anggota rapat yang terdiri dari 39 suara memilih Indonesia dengan
batasa-batas Hindia Belanda. Kelompok yang kedua yang terdiri dari 19 suara
memih wilayah bekas Hindia Belanda, sedangkan kelompok minoritas yang terdiri
dari 6 suara termasuk Dr. Mohammad Hatta ‘menolak pemasukan Papua Barat kedalam
NKRI’ dengan alasan bahwa hal tersebut sangat ekspansionistis.bahkan Prof. Moh
Yamin menyatakan dengan tegas bahwa Papua adalah Melanesia dan menuntut Papua
Barat agar diberikan kemerdekaan sendiri.
Frans Kaisiepo de depan
peserta delegasi dalam konferensi Malino menyatakan dengan tegas keinginan
Papua Barat agar diberikan status pemerintahan sendiri. Dan secara remi Frans
mengusulkan nama Irian (pulau yang sedang timbul). Namun konferensi ini tidak
menghasilkan sesuatu keputusan yang berarti. Konferensi meja bundar
1949 di Den Haag, Nederland. Di dalam konfernsi ini Belanda memutuskan untuk
tidak menyerahkan kedaulatan Papua Barat. Para Nasionalis Indonesia menyatakan
dengan tegas saat itu bahwa Papua Barat adalah bagian dari Indonesia, kecuali
dr. Mohammad Hatta yang kemudian mengakibatkan dinginnya hubungan dengan
Soekarno.
Hatta: “ secara pribadi ingin saya
nyatakan bahwaa bagi saya masalah Irian Barat tidak perlu dpersoalkan. Saya
tahu bahwa bangsa Papua pun berhak menjadi bangsa yang merdeka” konferensi ini
kemudian menghasilkan pengakuan Belanda atas kedaulatan RI, pada tanggal 17
Desember 1945 dan sepakat memutuskan nasib Papua Barat kemudian. Aspirasi
rakyat Papua yang disampaikan oleh delegasi Papua Barat sebagai pihak yang
berhak menentukan nasib sendiri sam sekali tidak dindahkan baik oleh pihak
delegasi Belanda maupun delegasi Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar