Tahap kedua dari
tangga kebahagiaan adalah kebahagiaan
intelektual (intellectual happiness). Seperti sudah disinggung
sebelumnya, kebahagiaan fisik itu durasinya sangat pendek, easy come easy go.
Akan tetapi aktivitas intelektual, yang melibatkan pikiran dan daya nalar
rasional, terekam dalam sekali di dalam diri manusia. Bisa juga dikatakan buah
dari aktivitas pikiran yang menghasilkan kebahagiaan intelektual itu bersifat
abadi. Karya penulis-penulis kuno 3000-4000 tahun yang lalu masih menjadi bahan
kajian sampai saat ini. Tindak mencipta yang melibatkan aktivitas berpikir dan
menciptakan akan terus dihargai oleh orang sepanjang sejarah.
Sel-sel saraf yang
ada di dalam otak manusia sangatlah rumit. Semua jaringan sel tersebut saling
terhubung satu sama lain. Walaupun begitu menurut penelitian yang telah
dilakukan, manusia hanya baru mempergunakan 10% saja dari kemampuannya.
Einstein salah satu orang tercerdas sepanjang sejarah pun diklaim baru
mempergunakan 10% kemampuan otaknya.
Peradaban manusia
berkembang karena ia menggunakan kemampuan nalarnya. Kemampuan nalar manusia
hampir tidak terbatas. Oleh karena itu perkembangan peradaban pun juga tak
terbatas. Peradaban manusia berkembang pun ke arah yang tidak terduga.
Aktivitas nalar manusia adalah sumber peradaban. Aktivitas nalar menghasilkan
kebahagiaan intelektual. Inilah kebahagiaan yang memuaskan sisi insani manusia.
Salah satu sebutan
ilmiah untuk manusia adalah homo erectus. Artinya manusia adalah mahluk yang
berdiri tegak. Oleh karena itu jangkauan pandangan manusia pun luas. Ia bisa
mengamati hampir semua hal. Dari pengamatannya manusia berimajinasi. Ia
menciptakan gambar, lalu tulisan, dan berkembanglah kebudayaan. Hewan tidak
memiliki tubuh yang tegak. Akibatnya hewan melihat dunia secara sempit. Hewan
tidak mampu melihat keseluruhan. Hewan hanya mampu melihat parsial.
Dengan demikian
aktivitas nalar manusia dalam bentuk intelektualitas adalah sumber dari
kebahagiaan intelektual. Dalam arti ini kebahagiaan intelektual berada di tahap
yang lebih tinggi daripada kebahagiaan fisik. Tujuan orang bekerja adalah untuk
mencari nafkah, supaya ia dan keluarganya bisa hidup sejahtera. Dalam hal ini
kesejahteraan dimaknai lebih sebagai supaya anak bisa mendapatkan pendidikan
yang layak, dan bukan hanya supaya kebutuhan fisiknya terpenuhi. Di Indonesia
pendidikan memang mahal. Akan tetapi banyak orang bekerja keras untuk
mendapatkan itu karena mereka yakin, pendidikan sangatlah diperlukan.
Kebahagiaan intelektual yang diperoleh melalui pendidikan lebih berarti
daripada kebahagiaan fisik.
Teknologi merupakan
buah dari aktivitas nalar manusia. Lampu, telepon, mobil, listrik, dan
sebagainya merupakan produk teknologi yang bertujuan untuk memajukan kualitas
hidup manusia. Hal yang sama berlaku untuk teknologi informasi dan komunikasi.
Dengan adanya teknologi itu, manusia bisa melakukan transfer pengetahuan dengan
cepat dan efektif. Pengetahuan dan peradaban manusia pun berkembang.
Dalam hal ini hewan
kalah dari manusia. Lumba-lumba misalnya hanya bisa berkomunikasi sejauh
puluhan kilometer saja. Sementara manusia bisa berbicara antar benua. Dengan
nalarnya manusia melampaui kemampuan hewan. Dengan nalarnya pula ia menciptakan
peradaban. Milton Friedman pernah berkata The World is Flat. Ia mau menegaskan
kini kejadian di ujung dunia yang satu bisa langsung dilihat oleh orang dari
ujung dunia yang lain. Karena perkembangan teknologi komunikasi dan informasi,
dunia seolah menjadi tempat yang datar.
Banyak contoh lainnya
tentang kehebatan nalar manusia. Bangsa yang besar tidak dilihat dari sebanyak
apa mall yang mereka punya, atau sebanyak apa supermarket yang mereka punya,
tetapi dari tingkat pendidikannya. Bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang
kompetitif, jika pendidikan dan fasilitas penunjangnya berkembang. Kunci
majunya suatu bangsa terletak pada bidang pendidikan.
Jika orang rajin
belajar, maka hal yang ia pelajari tidak akan pernah hilang. Jika orang rajin
membaca, maka info yang ia peroleh dari tulisan itu juga tidak akan pernah
hilang. Menurut penelitian yang telah dilakukan, info yang kita peroleh dari
belajar dan membaca tidaklah hilang. Kita hanya lupa. Ketika belajar tidak
hanya otak yang merekam. Seluruh tubuh kita merekam apa yang kita baca dan kita
pelajari.
Yang perlu dipikirkan
adalah, bagaimana supaya orang menjadi terbiasa belajar dan membaca, serta
mencintai apa yang ia pelajari dan baca? Kebiasaan itu tidak hanya terkait
dengan modal biologis. Otak yang pintar bukanlah jaminan, bahwa orang akan
rajin belajar dan mencintai pengetahuan. Pengkondisian sosial adalah sesuatu
yang penting. Kita harus mengkondisikan secara sosial dan kultural, supaya
orang terbiasa belajar, membaca, dan mencintai informasi maupun pengetahuan
yang mereka peroleh.
Untuk mencapai
pengetahuan yang mendalam, otak manusia perlu waktu untuk mengolah informasi
yang diperolehnya. Pada titik ini haruslah tetap diingat, bahwa informasi
apapun yang masuk ke dalam otak tidak akan pernah hilang. Orang hanya lupa
namun ia bisa mengingatnya kembali.
Otak manusia memiliki
banyak jaringan sel. Bisa juga dibilang bahwa otak memiliki banyak “penghuni”.
Jika masalah muncul maka para “penghuni otak” itu berkumpul untuk mencari
solusi. “Para penghuni” ini muncul sebagai hasil dari kebiasaan belajar dan
membaca. Jadi jika Anda banyak belajar dan membaca, maka “penghuni otak” Anda
pun akan banyak dan beragam. Jika sudah begitu kemampuan Anda menyelesaikan
masalah juga meningkat.
Banyak orang
memberikan kritik, bahwa perhatian berlebihan kepada kebahagiaan intelektual
akan membuat manusia menjadi tidak seimbang. Jika terlalu banyak belajar dan
membaca, ia akan lupa untuk berdoa, ataupun bersosialisasi dengan temannya. Ia
menjadi orang yang intelektualistik. Kritik semacam ini hanya tepat, jika
ditempatkan untuk orang-orang yang sudah mencintai tulisan dan ilmu
pengetahuan. Jika orang baru mulai meniti kebiasaan untuk membaca dan belajar,
kritik ini tidak pas. Dalam hal ini kita tidak boleh anti klimaks. Kita harus
sadar serta menghayati arti tulisan dan ilmu pengetahuan. Kita harus sungguh
menyadari dimensi positif dari pengetahuan, baru kita boleh memberikan kritik.
Saya punya tips
pribadi untuk mengatasi rasa lelah. Jika saya merasa lelah, saya membaca novel.
Saya menyukai novel-novel berlatar belakang sejarah, seperti Musashi, dan novel-novel
dengan latar belakang sejarah Indonesia. Saya suka membayangkan berjalan
melewati tempat-tempat yang dilukiskan di novel tersebut. Bagi saya membaca itu
seperti memberi makan bagi otak. Membaca juga memenuhi dahaga intelektual saya.
Dengan membaca saya bisa mendapatkan banyak ilmu dan informasi. Saya juga
terlatih untuk berimajinasi. Membaca memberikan saya kenyamanan. Oleh karena
itu saya sering rindu untuk membaca. Saya sadar betul bahwa tulisan merupakan
salah satu pilar peradaban manusia. Dengan adanya tulisan aktivitas nalar
manusia dapat berkembang.
Pertanyaan
mendasarnya adalah bagaimana kita mendidik anak, supaya mereka mempunyai ruang
untuk kebahagiaan intelektual semacam itu? Ini pertanyaan besar terkait dengan
bidang pendidikan. Sebenarnya jawaban atas pertanyaan di atas tidaklah terlalu
sulit. Jika para pendidik sudah mengetahui kenikmatan yang muncul di dalam
kebahagiaan intelektual, maka ketika mereka mengajar, pengetahuan dan rasa
cinta terhadap intelektualitas itu akan menular.
Kebahagiaan fisik
akan berkurang, sejalan dengan menurunnya usia. Kesehatan manusia juga tidak
menentu. Akan tetapi kebahagiaan intelektual menyediakan kenyamanan yang
mendalam. Dengan memberikan fokus pada kebahagiaan intelektual, kemanusiaan
kita akan berkembang. Potensi intelektualitas manusia yang nyaris tak terbatas
pun bisa diwujudkan. Kebahagiaan intelektual semacam ini membuat hidup menjadi
terasa bermakna. Itulah alasan mengapa pendidikan begitu mahal. Pendidikan
merupakan sumber peradaban. Kebahagiaan intelektual jauh lebih nikmat daripada
kebahagiaan fisik.
Orang Indonesia
terpaku pada kebahagiaan fisik. Mereka lupa bahwa kebahagiaan intelektual juga
penting. Di dalam bisnis modal usaha seringkali dikaitkan dengan usaha. Padahal
modal terbesar di dalam bisnis adalah human capital, yang juga berarti
intellectual capital. Negara yang maju adalah negara yang mengalami surplus
intelektual. Di Indonesia terlalu banyak lulusan S1 dan S2 di bidang ilmu
manajemen. Padahal Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya alam.
Kita juga perlu sarjana-sarjana di bidang ilmu alam untuk bisa mengelola
kekayaan alam yang ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar