Sabtu, 03 Desember 2016

KEBAHAGIAAN INTELEKTUAL



Tahap kedua dari tangga kebahagiaan adalah kebahagiaan intelektual (intellectual happiness). Seperti sudah disinggung sebelumnya, kebahagiaan fisik itu durasinya sangat pendek, easy come easy go. Akan tetapi aktivitas intelektual, yang melibatkan pikiran dan daya nalar rasional, terekam dalam sekali di dalam diri manusia. Bisa juga dikatakan buah dari aktivitas pikiran yang menghasilkan kebahagiaan intelektual itu bersifat abadi. Karya penulis-penulis kuno 3000-4000 tahun yang lalu masih menjadi bahan kajian sampai saat ini. Tindak mencipta yang melibatkan aktivitas berpikir dan menciptakan akan terus dihargai oleh orang sepanjang sejarah.

Sel-sel saraf yang ada di dalam otak manusia sangatlah rumit. Semua jaringan sel tersebut saling terhubung satu sama lain. Walaupun begitu menurut penelitian yang telah dilakukan, manusia hanya baru mempergunakan 10% saja dari kemampuannya. Einstein salah satu orang tercerdas sepanjang sejarah pun diklaim baru mempergunakan 10% kemampuan otaknya.

Peradaban manusia berkembang karena ia menggunakan kemampuan nalarnya. Kemampuan nalar manusia hampir tidak terbatas. Oleh karena itu perkembangan peradaban pun juga tak terbatas. Peradaban manusia berkembang pun ke arah yang tidak terduga. Aktivitas nalar manusia adalah sumber peradaban. Aktivitas nalar menghasilkan kebahagiaan intelektual. Inilah kebahagiaan yang memuaskan sisi insani manusia.

Salah satu sebutan ilmiah untuk manusia adalah homo erectus. Artinya manusia adalah mahluk yang berdiri tegak. Oleh karena itu jangkauan pandangan manusia pun luas. Ia bisa mengamati hampir semua hal. Dari pengamatannya manusia berimajinasi. Ia menciptakan gambar, lalu tulisan, dan berkembanglah kebudayaan. Hewan tidak memiliki tubuh yang tegak. Akibatnya hewan melihat dunia secara sempit. Hewan tidak mampu melihat keseluruhan. Hewan hanya mampu melihat parsial.

Dengan demikian aktivitas nalar manusia dalam bentuk intelektualitas adalah sumber dari kebahagiaan intelektual. Dalam arti ini kebahagiaan intelektual berada di tahap yang lebih tinggi daripada kebahagiaan fisik. Tujuan orang bekerja adalah untuk mencari nafkah, supaya ia dan keluarganya bisa hidup sejahtera. Dalam hal ini kesejahteraan dimaknai lebih sebagai supaya anak bisa mendapatkan pendidikan yang layak, dan bukan hanya supaya kebutuhan fisiknya terpenuhi. Di Indonesia pendidikan memang mahal. Akan tetapi banyak orang bekerja keras untuk mendapatkan itu karena mereka yakin, pendidikan sangatlah diperlukan. Kebahagiaan intelektual yang diperoleh melalui pendidikan lebih berarti daripada kebahagiaan fisik.

Teknologi merupakan buah dari aktivitas nalar manusia. Lampu, telepon, mobil, listrik, dan sebagainya merupakan produk teknologi yang bertujuan untuk memajukan kualitas hidup manusia. Hal yang sama berlaku untuk teknologi informasi dan komunikasi. Dengan adanya teknologi itu, manusia bisa melakukan transfer pengetahuan dengan cepat dan efektif. Pengetahuan dan peradaban manusia pun berkembang.

Dalam hal ini hewan kalah dari manusia. Lumba-lumba misalnya hanya bisa berkomunikasi sejauh puluhan kilometer saja. Sementara manusia bisa berbicara antar benua. Dengan nalarnya manusia melampaui kemampuan hewan. Dengan nalarnya pula ia menciptakan peradaban. Milton Friedman pernah berkata The World is Flat. Ia mau menegaskan kini kejadian di ujung dunia yang satu bisa langsung dilihat oleh orang dari ujung dunia yang lain. Karena perkembangan teknologi komunikasi dan informasi, dunia seolah menjadi tempat yang datar.

Banyak contoh lainnya tentang kehebatan nalar manusia. Bangsa yang besar tidak dilihat dari sebanyak apa mall yang mereka punya, atau sebanyak apa supermarket yang mereka punya, tetapi dari tingkat pendidikannya. Bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang kompetitif, jika pendidikan dan fasilitas penunjangnya berkembang. Kunci majunya suatu bangsa terletak pada bidang pendidikan.

Jika orang rajin belajar, maka hal yang ia pelajari tidak akan pernah hilang. Jika orang rajin membaca, maka info yang ia peroleh dari tulisan itu juga tidak akan pernah hilang. Menurut penelitian yang telah dilakukan, info yang kita peroleh dari belajar dan membaca tidaklah hilang. Kita hanya lupa. Ketika belajar tidak hanya otak yang merekam. Seluruh tubuh kita merekam apa yang kita baca dan kita pelajari.

Yang perlu dipikirkan adalah, bagaimana supaya orang menjadi terbiasa belajar dan membaca, serta mencintai apa yang ia pelajari dan baca? Kebiasaan itu tidak hanya terkait dengan modal biologis. Otak yang pintar bukanlah jaminan, bahwa orang akan rajin belajar dan mencintai pengetahuan. Pengkondisian sosial adalah sesuatu yang penting. Kita harus mengkondisikan secara sosial dan kultural, supaya orang terbiasa belajar, membaca, dan mencintai informasi maupun pengetahuan yang mereka peroleh.

Untuk mencapai pengetahuan yang mendalam, otak manusia perlu waktu untuk mengolah informasi yang diperolehnya. Pada titik ini haruslah tetap diingat, bahwa informasi apapun yang masuk ke dalam otak tidak akan pernah hilang. Orang hanya lupa namun ia bisa mengingatnya kembali.

Otak manusia memiliki banyak jaringan sel. Bisa juga dibilang bahwa otak memiliki banyak “penghuni”. Jika masalah muncul maka para “penghuni otak” itu berkumpul untuk mencari solusi. “Para penghuni” ini muncul sebagai hasil dari kebiasaan belajar dan membaca. Jadi jika Anda banyak belajar dan membaca, maka “penghuni otak” Anda pun akan banyak dan beragam. Jika sudah begitu kemampuan Anda menyelesaikan masalah juga meningkat.

Banyak orang memberikan kritik, bahwa perhatian berlebihan kepada kebahagiaan intelektual akan membuat manusia menjadi tidak seimbang. Jika terlalu banyak belajar dan membaca, ia akan lupa untuk berdoa, ataupun bersosialisasi dengan temannya. Ia menjadi orang yang intelektualistik. Kritik semacam ini hanya tepat, jika ditempatkan untuk orang-orang yang sudah mencintai tulisan dan ilmu pengetahuan. Jika orang baru mulai meniti kebiasaan untuk membaca dan belajar, kritik ini tidak pas. Dalam hal ini kita tidak boleh anti klimaks. Kita harus sadar serta menghayati arti tulisan dan ilmu pengetahuan. Kita harus sungguh menyadari dimensi positif dari pengetahuan, baru kita boleh memberikan kritik.

Saya punya tips pribadi untuk mengatasi rasa lelah. Jika saya merasa lelah, saya membaca novel. Saya menyukai novel-novel berlatar belakang sejarah, seperti Musashi, dan novel-novel dengan latar belakang sejarah Indonesia. Saya suka membayangkan berjalan melewati tempat-tempat yang dilukiskan di novel tersebut. Bagi saya membaca itu seperti memberi makan bagi otak. Membaca juga memenuhi dahaga intelektual saya. Dengan membaca saya bisa mendapatkan banyak ilmu dan informasi. Saya juga terlatih untuk berimajinasi. Membaca memberikan saya kenyamanan. Oleh karena itu saya sering rindu untuk membaca. Saya sadar betul bahwa tulisan merupakan salah satu pilar peradaban manusia. Dengan adanya tulisan aktivitas nalar manusia dapat berkembang.

Pertanyaan mendasarnya adalah bagaimana kita mendidik anak, supaya mereka mempunyai ruang untuk kebahagiaan intelektual semacam itu? Ini pertanyaan besar terkait dengan bidang pendidikan. Sebenarnya jawaban atas pertanyaan di atas tidaklah terlalu sulit. Jika para pendidik sudah mengetahui kenikmatan yang muncul di dalam kebahagiaan intelektual, maka ketika mereka mengajar, pengetahuan dan rasa cinta terhadap intelektualitas itu akan menular.

Kebahagiaan fisik akan berkurang, sejalan dengan menurunnya usia. Kesehatan manusia juga tidak menentu. Akan tetapi kebahagiaan intelektual menyediakan kenyamanan yang mendalam. Dengan memberikan fokus pada kebahagiaan intelektual, kemanusiaan kita akan berkembang. Potensi intelektualitas manusia yang nyaris tak terbatas pun bisa diwujudkan. Kebahagiaan intelektual semacam ini membuat hidup menjadi terasa bermakna. Itulah alasan mengapa pendidikan begitu mahal. Pendidikan merupakan sumber peradaban. Kebahagiaan intelektual jauh lebih nikmat daripada kebahagiaan fisik.

Orang Indonesia terpaku pada kebahagiaan fisik. Mereka lupa bahwa kebahagiaan intelektual juga penting. Di dalam bisnis modal usaha seringkali dikaitkan dengan usaha. Padahal modal terbesar di dalam bisnis adalah human capital, yang juga berarti intellectual capital. Negara yang maju adalah negara yang mengalami surplus intelektual. Di Indonesia terlalu banyak lulusan S1 dan S2 di bidang ilmu manajemen. Padahal Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya alam. Kita juga perlu sarjana-sarjana di bidang ilmu alam untuk bisa mengelola kekayaan alam yang ada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar