Senin, 26 Desember 2016

Antara Bersikap Kritis dan Berpikir Kritis



Banyak buku diterbitkan berbicara soal EQ (Emogency Quotient), dan menekankan betapa tersesatnya sistem yang hanya menekankan IQ (Intelligency Quotient). Kesadaran baru yang berkembang akhir-akhir ini memberikan wacana tentang akibat buruk penonjolan manusia hanya pada aspek intelektual. Ada pernyataan bahwa laki-laki lebih rasional dan wanita lebih emosional untuk menunjukkan betapa aspek emosional merupakan sebuah kelemahan. Namun pada akhirnya seorang pemimpin yang berhasil (entah dia laki-laki atau perempuan) harus mampu untuk memberdayakan kemampuan intelektual dan emosionalnya secara tepat.
Saya tidak ingin lebih jauh membicarakan peran gender, akan tetapi penggunaan istilah emosional diasosiasikan dengan sifat wanita dan rasional dengan laki-laki lebih dekat penggambarannya dibandingkan dengan menggunakan penggambaran lain. Sebenarnya aspek emosional bukan hanya berbicara masalah letupan keinginan dan rasa (emosi), tetapi juga perasaan (feeling), nilai, motivasi, kebutuhan, sikap, intuisi, suara hati, dan kecapan (sense). Sedangkan intelektualitas mencakup analisis, hubungan logis, sebab-akibat, metodologi, sistematika, perhitungan, konklusi dan sintesa. Dengan istilah-istilah inilah saya akan memaparkan persoalan berpikir atau bersikap kritis. Kritis erat dengan respon terhadap apa yang sudah menggejala. Kritis juga melahirkan berkembangnya aliran yang diistilahkan sebagai postmodern (posmo).
Literatur resmi yang membahas definisi postmodernisme menjelaskan bahwa karakteristik budaya posmo sangatlah bervariasi. Ada tiga golongan besar postmodern (kritik terhadap budaya modern).
Golongan pertama mengembalikan pentingnya mistik dan budaya abad baru (new age). Golongan kedua sering disebut neo-Nietzeanis, yang merelatifkan semua kebenaran dan filosofi, membongkar semua batas konvensional dan bahkan melahirkan sikap skeptis dan tidak mementingkan makna.  Golongan ketiga yang mengkritik budaya modern dengan maksud memperbaiki kelemahannya dan masih menggunakan sisi positif modern justru berusaha mengembalikan makna yang terkikis dengan adanya modernisasi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar